Mirip Papa atau Mama
Setiap orang itu punya
kepribadian yang unik. Setiap bayi yang dilahirkan itu berbeda satu sama lain,
kembar identik sekalipun. Namun, tidak dapat dipungkiri, bahwa setiap manusia
punya sifat-sifat bawaan (nurture) yang memang terkandung di dalam gen masing-masing.
Lalu, sifat bawaan itu akan menguat seiring perkembangan mental seseorang
dipengaruhi oleh pola asuh orangtua / care giver masing-masing. Maka perilaku
anak itu biasanya gak jauh-jauh dari yang mengasuhnya. Jika pengasuh suka
marah-marah, pasti akan ada kemungkinan si anak juga menjadi tukang
marah-marah. Kalo pengasuhnya doyan makan jengkol, mungkin anaknya juga doyan
jengkol.
Dalam keluarga inti saya,
terdapat perdebatan, siapakah yang mirip Mama dan siapa yang mirip Papa.
Berhubung, Mama saya adalah wanita dominan dan Papa saya itu semacam kurang unjuk gigi, kami anak-anak mereka
memang cenderung lebih dekat dengan Mama daripada dengan Papa, terlepas karena
kami berempat sama-sama perempuan. Namun apakah hal ini mengartikan bahwa kami
semua mirip Mama? Sepertinya tidak juga. Mari kita runut dari latar belakang
dan peran keluarga terlebih orangtua kami dalam pengasuhan.
Keluarga saya adalah tipikal
kebanyakan keluarga peranakan Tionghoa yang tinggal di daerah pesisir. Hidup
kami selama ini bergantung pada sebuah toko keluarga yang sudah berdiri
kira-kira 80 tahun yang lalu (beneran saya, gak bercanda). Pengelolaan toko
mulai dari Nenek Kakek buyut saya, ke Nenek saya, lalu ke Papa saya. Tiga
generasi. Mulai dari jualan gerabah, jual obat, sampai menjadi toko kelontong
seperti sekarang. Ketika Papa saya dipasrahkan si toko ini, berhubung anak
laki-laki yang bernasib gak bakat di area dagang berdagang, posisi ‘pengelola’
ato kerennya ‘boss’ di toko malah jatuh ke Mama saya. Padahal Mama saya
notabene posisinya menantu, justru lebih bisa belajar banyak dan enjoy dengan
pekerjaan ini. Sebenarnya ini juga yang terjadi ketika Nenek Kakek buyut saya
memasrahkan toko, Nenek saya itu posisinya adalah menantu, lalu Kakek saya
waktu itu memilih tidak mengurus toko tetapi menjadi seorang tentara yang keren.
Mama saya memang menjadi nahkoda
utama usaha toko kami, namun, saya sendiri tidak pernah tau soal ini sampai
dengan saya sudah SMA. Saya dahulu selalu merasa bahwa toko ini ya Mama Papa
yang mengurus, tidak ada yang lebih berkuasa, atau tidak ada yang lebih
dominan. Karena sudah besar, lalu bisa mengobservasi sendiri, saya jadi ngeh,
well, my family is a little bit different. Dalam keluarga saya, terasa agak
timpang antara peran Mama dan Papa, malah saya pikir-pikir kalau peran mereka
itu semacam terbalik. Saat SMA, saya baru wondering, di antara teman-teman saya
yang urusan sekolahnya selalu diurusi Mamanya, kenapa saya diurusin Papa.
Hahahaha.. Padahal tipe keluarga ‘normal’ itu : Papa bekerja dan Mama mengurus
anak. Tapi di keluarga saya, Mama saya yang harus bekerja lebih keras, lalu
jadi kasarannya Papa saya kayak jadi asistennya. Lalu pas kuliah saya menemukan
istilah yang tepat untuk keadaan ini, oh ya berarti bread winner di keluarga
saya itu Mama saya.
Dari luar Papa saya seperti
pemeran figuran di keluarga, namun sebenarnya setelah dipikir-pikir tidak juga
karena beliau memiliki beberapa tugas yang penting. Terutama semasa kami masih
sekolah, Papa yang mengurus urusan administrasi sekolah (mulai dari pendaftaran,
ambil rapor, ikut pertemuan orangtua, sampai dengan memberi pidato saat
perpisahan sekolah). Lalu, untuk urusan toko beliau juga yang mengurus hal-hal
administrasi seperti bayar membayar pajak, urusan yang harus bersifat
birokratif, dan perbankan. Di sisi lain, Mama saya adalah seorang akuntan di
keluarga kami, yang darah berdagangnya rupanya mengalir deras. Otaknya bisa
saya bilang lebih cepat dari prosesor komputer mana pun. Meski tidak mengenyam
pendidikan ekonomi secara formal, tapi asam garam dunia perdangan membuat Mama
saya lebih pintar dari sarjana ekonomi.
Saya sebagai anak punya penilaian
personal yang bisa dibilang lebih condong menganggap Mama saya lebih positif
daripada Papa saya. Mungkin ini disebabkan oleh Mama saya lebih banyak bercerita
mengenai dirinya (curhat colongan) jadi saya selalu bisa memahami sifat-sifat
negatifnya. Sedangkan, Papa saya bukan tipe ayah yang hangat terhadap
anak-anak, jadi saya menganggap beliau adalah sosok yang ‘formal’. Ngobrol pun
jarang sekali, kalau sekarang mungkin bisa dibilang lebih sering karena saya
dan Papa punya ketertarikan yang sama di bidang sosial politik. Saya tidak
mengenal Papa saya secara menyeluruh, sehingga beberapa perilaku negatif Papa,
selalu saya anggap sebagai ancaman yang saya sendiri tidak mau tahu apa latar
belakangnya.
Besar di tengah keluarga yang
unik seperti ini, pastinya memberikan pengaruh-pengaruh yang unik pula. Secara
prakteknya, saya dan kedua saudara kandung saya ini jarang-jarang ‘diurus’ oleh
orangtua kami meski kami satu rumah. Mama saya bagaikan wanita karir yang dari
pagi-sore di toko, Papa saya cuek dan kurang hangat. Saya sendiri lebih merasa
banyak menghabiskan waktu di sekolahan.
Kalau malam, mengerjakan PR, nonton TV, jam 9 rumah saya sudah light off. Sehari-harinya
saya lebih sering berinteraksi dengan ‘Mbak’ daripada orangtua saya sejak
kecil. Beberapa pembelajaran pertama seperti bisa baca sendiri, bisa nulis,
bisa makan sendiri, bisa menyebutkan huruf ‘R’, justru yang tau adalah ‘Mbak’
bukan Mama atau Papa saya.
Saya merasa masa kecil Kakak saya
lebih membahagiakan, karena ketika itu Kakak saya adalah anak pertama dan cucu
pertama dari kedua belah pihak. Papa Mama saya pun masih dalam masa-masa
honeymoon (masih semangat 45, dan belum jenuh berkeluarga), buktinya adalah
begitu banyaknya memorabilia Kakak saya di rumah, foto-foto masa kecilnya
tersimpan rapih dan terawat. Ketika saya lahir, saya ketika masih bayi sempat
dititipkan di rumah Nenek saya dari pihak Mama, saya gak tau persis alasannya
apa, tapi sepertinya ketika itu rumah tangga Mama Papa saya rada
gonjang-ganjing. Believe it or not, jika ditanya soal memori masa kecil di
keluarga, saya tidak pernah bisa mengingat masa-masa yang menyenangkan, saya
justru ingatnya Mama Papa saya sering bertengkar, lalu ada adegan kabur-kaburan
kayak di sinetron gitu. Ketika adik saya lahir, keadaan keluarga sudah lebih
stabil, karena perekonomian keluarga sudah lumayan. Mama Papa saya pun sudah
lebih dewasa.
Kayaknya nih saya juga punya
middle child syndrome, dimana saya ngerasa saya teralienasi dari keluarga.
Namun, sepertinya begitulah keadaannya, ketika jadi anak tengah di antara tiga
anak yang semuanya perempuan. Ada aja rasa dibandingkan-bandingkan secara
berlebihan oleh kedua orangtua, tapi saya juga gak tau apakah ini hanya
perasaan saya aja atau ngga. Saya malah waktu SD sempet berpikir kabur dari
rumah karena kadung bete banget suka disalah-salahin orangtua dan tidak
dianggap lebih baik dari Kakak saya. Namun, semakin besar, saya jadi makin
sadar juga bahwa pengalaman pahit ketika masa kecil itu sudah berlalu, sekarang
Mama Papa lebih wise dan saya sendiri juga sudah lebih jarang membuat masalah
di rumah (berhubung dari SMA sudah keluar dari rumah hehehehe..)
Balik ke pertanyaan ‘mirip Papa
atau Mama?’, dari latar belakang yang sudah saya ceritakan bisa ditebak kan,
anak dari orangtua saya ingin dibilang mirip siapa. Yap, mirip Mama. Mama saya
sendiri sejak saya kecil selalu mengasosiasikan sesuatu yang baik kepadanya dan
yang kurang baik ke Papa saya, contohnya saja, ketika Mama ngomel suka terucap
kata-kata ‘kamu malas kayak Papa’ atau ‘kamu boros mirip si Papa aja’.
Sedangkan yang baik-baik semisal ‘Ci Dian hemat kayak Mama’ atau ‘Untung
anak-anak perempuan Mama gak macem-macem, kayak Mamanya’. Saya dari SMA sudah
merasa ini salah satu kebiasaan Mama saya yang kurang baik, dengan kata lain,
ya masing-masing punya kelemahan dan kelebihan, meskipun masing-masing membuat
pencitraannya sendiri.
Semakin besar, saya pribadi
menyadari dari banyak hal yang saya miliki, saya mirip sekali dengan Papa, hal
ini tentunya kontras karena sejak kecil saya selalu sebal dengan Papa saya. Ternyata,
buah dari kesebalan itu adalah saya justru menjadi orang yang makin lama mirip
dengan Papa saya. Pertama, soal wajah, meski kalo dilihat-lihat Adik saya itu
mukanya yang paling mirip dengan Papa saya, tapi ketika difoto entah ya, kenapa
muka saya yang paling mirip dengan si Papa *senewen *gakterima. Kedua adalah
ada beberapa kebiasaan yang sama persis dengan Papa, salah satunya adalah
kebiasaan buruk saya mengupil, lainnya mulai dari bisa tidur dimana saja, ga
rewel makan, bisa ngegembel, awet kalo punya barang, sama-sama suka sospol,
sama-sama ngarep jadi pejabat daerah, suka banget baca, dll. Ketiga, well,
beberapa sifat saya memang mirip dengan Papa mulai dari diam-diam pendendam, bisa
males kebangetan, gak mau ngalah, suka memperjuangkan keadilan, open-mind,
cenderung cuek, suka nasihatin orang, kadang plin plan, susah ditebak, suka
pura-pura baik sama orang, tipe setia, dll.
Setelah saya uraikan ternyata si
Papa punya sifat-sifat baik juga kan ya, tidak sepenuhnya jelek, walopun yang
lebih sering keliatannya yang aneh-aneh. Dan begitu juga saya sendiri, meski
cenderung mirip Papa, not too bad, bukan berarti saya adalah orang yang nyebelin.
Gegara saya menyadari bahwa saya ini mirip sama si Papa, saya harus menarik
ucapan bahwa saya bete sama Papa, karena kenyataannya, he is your father and
you are really like him. Uhmmm.. Refleksi ini cukup membuat saya tertegun &
kaget bagaikan Luke Skywalker ketika mengetahui bahwa Darth Vader itu ternyata
Bapaknya. Nah kan saya mulai ngigo dan berimajinasi, just like my dad! Puji itu
anak Papa banget.
Comments