The Value of Visiting Seattle

Terima kasih untuk teman-teman yang sudah mau membaca rangkaian postingan ngebut mengenai perjalanan singkat saya di benua seberang. Tanpa bermaksud pongah, sombong, ato pamer saya buat posting khusus ini. Sekali lagi saya mendeklarasikan bahwa postingan ini adalah ujud konkrit dari penyimpanan memori otak saya yang tidak kuat nyimpen sesuatu yang detail dalam jangka waktu yang lama. Hahahhaha.. Berhubung saya masih ingat dan bisa dinarasikan ya kenapa tidak ya. Kan jadi lengkap juga, folder foto ada, folder cerita juga ada. Heheheheheheee..

Selain dari tujuan tersebut, memang ada keinginan dari dalam hati saya (yang paling dalam, hueeeex..) untuk berbagi cerita, informasi, dan kali-kali aja ada yang terinspirasi gitu (terinspirasi apa Ji? Terinspirasi buat melakukan kebodohan di negara orang? Hahahah..). Oya, saya juga sangat berterimakasih untuk pihak kampus dan fakultas yang telah memberikan kesempatan (dan dana tentu saja, tidak mampu saya pergi ke sana dengan doku pribadi). It’s an honor. Pada awalnya Dicky-saya ragu-ragu untuk menyambut kebaikan ini, berhubung kami pikir, apakah tidak lebih baik, dana ini disumbang saja untuk civitas akademika yang lain – yang lebih membutuhkan. Habisnya kalau melihat angka nol dalam proposal kami itu koq banyak sekali ya, sebagai anak dari orangtua wiraswasta pastinya ngeh kalo untuk mendapat uang sejumlah itu rasanya ngos-ngosan, jadi sempatlah saya merasa sayang.

Namun, atas pengertian dari beberapa pihak yakni dosen, beberapa teman, kerabat serta keluarga, akhirnya saya terima kesempatan baik ini. Pinginnya sih setelah pulang jadi membawa pencerahan untuk universitas. Mungkin memang tidak secara langsung mencerahkan universitas sih, pencerahan itu memang datang untuk diri sendiri terlebih dahulu. Lalu, apa sajakah pencerahan yang didapatkan? Yak, ini dia yang ingin saya bahas di posting yang satu ini.

First of all, yang pasti adalah pencerahan akademik. Berasa Siddharta Gautama yang semedi di bawah pohon Bodhi, mungkin itu dia gambaran mahasiswa yang ikutan konferensi. Konferensi sendiri sebenarnya bukan barang baru dalam kehidupan kemahasiswaan saya, sering lah ya saya mendengar ada konferensi ini, itu dan anu. Dosen-dosen pun kadang memakai alasan sedang mengikuti konferensi ketika tidak bisa masuk kuliah dan memberikan pekerjaan rumah kepada mahasiswa-mahasiswanya. Beberapa kali juga univ dan fakultas mengadakan konferensi, banyak teman-teman yang menjadi panitianya, bahkan ada juga yang menjadi peserta. Intinya, saya sudah sering dengar tentang konferensi tapi belum pernah mengikutinya secara langsung.

Setelah saya mengikuti konferensi, baru saya ketahui kalau ternyata hasil riset itu membanggakan ketika bisa masuk ke konferensi, kan terpublikasi dengan ilmiah gitu loh. Dan saya baru ngeh juga kalo dosen mengajak mahasiswa ke konferensi itu sesuatu yang common. Mahasiswa yang menjadi asisten riset, sang dosen membawa mahasiswa didikannya tersebut ke podium presentasi di konferensi (baik poster maupun oral presentation). Memang sih common nya ini di luar negeri sana, kalau di Indonesia, belum terjadi sepenuhnya, karena masih banyak dosen yang menganggap mahasiswa nya sapi perah untuk kerja macem-macem tanpa apresiasi.

Terpublikasinya hasil riset ini bukan semata-mata untuk koar-koar ke seluruh dunia bahwa lu udah bikin penelitian yang baik dan keren. Bukan itu. Tetapi, publikasi ini lebih bertujuan untuk meng-encourage baik untuk si peneliti maupun si audience, jadi memberikan efek rantai. Contohnya saja ni ketika ada peneliti yang memiliki kesamaan topik melihat penelitian kita, pastinya dia penasaran, tanya-tanya, dan memunculkan pertanyaan baru untuk meneliti hal yang selanjutnya (untuk keduanya). Jadi semangat kan. Ilmu pengetahuan pun jadi berkembang terus, maka penting diadakannya konferensi.

Di balik itu semua mungkin ada beberapa orang yang menganggap konferensi sebagai acara buang-buang uang dan hanya untuk jalan-jalan. Fine. Memang benar, kita mengeluarkan dana yang tidak sedikit untuk ini, lalu karena tempatnya pindah-pindah sesuai dengan pilihan host nya, kalo niat mengikuti ya jadi mau gak mau travelling. Perihal jadi jalan-jalan sih sepertinya bonus saja, maksudnya bukan hal utama yang dikejar. Saya sendiri tidak menampik, bahwa kadangkala lokasi konferensi menjadi salah satu daya tarik tersendiri, contohnya saja sering banget konferensi internasional memakai tempat di Yogyakarta atau di Bali. Kenapa gak di Bandung? Kenapa gak di Medan? Kenapa gak di Semarang?

Pencerahan akademik bukan berhenti sampai di situ. Saya juga jadi memahami bahwa untuk menjadi akademisi yang wahid juga memerlukan jaringan yang luas. Seluas sinyal provider telepon genggam. Maksud saya, dengan punya kenalan banyak, makin banyak juga ilmu yang dapat kita serap dari mereka dan makin banyak pula informasi yang kita dapatkan di ranah yang kita geluti. Nah, dari konferensi, kita bisa mendapatkan banyak jaringan, coba, siapa sangka saya jadi kenal dengan Tat - mahasiswa Armenia, Ms. Chris yang lulusan Harvard, kolega Ms. D yang bekerja di Nickelodeon, ato jadi akrab dengan Ed yang sekarang posisinya cukup penting di kepemerintahan. Di sini pula kita jadi belajar yang namanya public speaking dan berkomunikasi antar mahasiswa/peneliti, kuncinya bukan sok pintar atau sok tau, tetapi dengan menghargai pekerjaan mereka. Menjadi sok kritis tanpa dasar yang jelas malah bikin diri ini dicap gak bonafit dan ‘gak banget deh’. Seriously. Semua orang di konferensi ingin mempelajari sesuatu bukan malah memamerkan.

Selanjutnya mengenai kesadaran pentingnya kemampuan berbahasa internasional, dalam hal ini bahasa Inggris. Lagi-lagi, saya ditampar oleh kenyataan bahwa kemampuan berbahasa Inggris saya ini masih di bawah rata-rata. Untuk memperkenalkan diri dan berbicara sesuatu yang ringan. Check. Untuk ngomongin sesuatu yang digemari. Check. Agak naik dikit, membicarakan situasi atau fenomena sosial. Setengah check. Ngomongin hal yang scientific dikit. Bleh! Mandet! Tutup buku deh ya. Hahahahaha.. Kamu harus belajar lagi dalam hal ini, puji.

Kedua adalah pencerahan kehidupan. Whaatt?? Apaan ya ni.. Hahahaha.. Mungkin sebutannya memang agak berlebihan. Tapi ya, sungguh deh, saya mendapat pencerahan mengenai kehidupan. Gini, dulu ketika saya melamar menjadi asisten penelitian Ms. D apakah saya kepikiran bahwa hal ini akan membawa saya ke Amerika Serikat? Yang saya harapkan waktu itu si, karena Ms. D ini dosen dari luar, saya bisa mengenal dy dengan baik, dan kali aja dy bisa menuliskan surat rekomendasi untuk saya kalo-kalo saya jadi sekolah lanjut, kan meyakinkan tu. Udah. Itu aja. Selanjutnya, ya saya berusaha sebaik dan semampu (saya) ngerjain tugas sebagai asisten. Dari pengalaman ini lalu saya jadi paham, bahwa ketika kamu serius, bekerja dengan hati, jujur, berdedikasi, hasilnya juga mantep. Outputnya baik.

Pelajaran hidup selanjutnya, saya mendapatkan rolemodel2 hebat di sana. Kalau di masa depan, saya kesampean jadi pengajar, lalu saya punya murid, saya ingin bisa memperlakukan murid-murid saya seperti saya diperlakukan oleh guru saya yang terdahulu. Ini juga berlaku, apabila di masa depan saya tidak jadi pengajar, mungkin saya menjadi Cici2 kantoran atau bos toko peninggalan orangtua saya, saya ingin melakukan hal yang sama, saya akan menghargai dan menghormati orang-orang yang bekerja dengan saya, meskipun mereka posisinya adalah bawahan atau helper. Saya ingin bisa mengapresiasi pekerjaan mereka. Karena tanpa kehadiran mereka, saya nothing. Manusia itu bisa-bisa saja hidup soliter, tapi akankah bertahan lama?

Poin penting yang ketiga adalah pencerahan budaya. Well, dibilang saya mengalami culture lag pas di Amerika Serikat, itu memang benar. Ada beberapa hal yang bikin kaget dan karena ‘baru pertama kali’ ato ‘tidak biasa’ jadi serba jadi weird gitu. Hahahahaha.. Output tingkah lakunya malah jadi norak, bodoh, tidak terkendali. Semisal saja seperti ketika (yang paling simpel) pesan submarine sandwich di Subway, saya bingung lha ya mau pesen apa, sudah gitu disuruh pilih-pilih sendiri pula, sayurnya mau apa, dagingnya apa, sausnya apa. Saya asal-asalan aja milihnya, jadinya malah rasanya gak karuan hahahahhaha.. Atau pas kejadian jalan kaki, secara kalo di sini jalan bisa santai-santai aja, pas di sana orang semua jalannya buru-buru (tidak secepat orang Singapura sih, tapi ya lumayan cepat) awal-awal jalan saya ditegur ‘excuse me’ karena jalan sudah lambat bikin macet orang yang di belakang, makanya saya didahului orang-orang. Habis itu jalan saya jadi ikutan ngebut.

Pemahaman-pemahaman kayak gini nih, kalo gak disadari sendiri, kita malah jadi su’udzon sama orang luar. Bisa saja saya jadi gosip, eh tau gak sih, di Amerika tuh ribet, makan ajah kebanyakan cincong terus makannya juga gak enak (kasus Subway), atau, ih nyebelin tauk orang Amrik tu pada gak sabaran (kasus jalan kaki). Saya inget tuh pernah ada temen yang cerita kalo orang Singapur itu galak-galak, soalnya dy dimarahin. Dulu sih saya telen mentah-mentah cerita itu, tapi sekarang dipikir deh, mungkin orang itu ngomel itu bukan karena dy suka ngomel, tapi karena dirimu gak adaptif jadi bikin dia ngomel. Intinya, dengan pengalaman di Amerika ini saya menghimbau para pelancong, menjadi adaptif di negara persinggahan itu penting, jangan pake kacamata kuda, dan nelen segala-galanya tanpa proses pengunyahan terlebih dahulu. Catat ya.

Ya. Itulah yang sekiranya yang bisa saya refleksinya mengenai kepergian saya ke Seattle. Saya sangat bersyukur, saya bisa mengunjungi tempat yang berada nun jauh di sisi bumi yang lain ketika usia saya masih muda belia gegap gempita cetar membahana (berlebihan ya..). Jadi kan, saya jadi bisa cerita-cerita ke anak-cucu kelak, ‘Cu, Nenek itu dulu ngebolang sampe ke Amrik, gak bayar lho Cu, ayo kamu pasti bisa Cu, makanya belajar yang benar dari kecil’ kayak gitu kali ya dialognya. Hahahahaha.. Hmmm.. Ya usah deh, saatnya saya kembali ke meja cokelat untuk mengerjakan si pra-syarat kelulusan. Sampai jumpa di posting yang selanjutnya. ^^

best regards
puji wijaya, kejar posting jari jadi keriting


bonus foto :
saya dan Seattle Great Wheel
hahahahahhaa..

Comments