Transportasi Menuju Lampung

Pukul menunjukan waktu jam 9 pagi, Ndut dan saya sudah berada di Stasiun Gambir. Sebentar lagi kami mau naik DAMRI jurusan Gambir - Tanjung Karang (Bandar Lampung). Kami menunggu Tina yang katanya sudah di Gambir tapi lagi di toilet. Gambir rame banget, maklum udah musim liburan nih. Gak lama, lalu kami bertiga berkumpul. Tina beberapa minggu yang lalu sudah beli tiket bisnya, jadi kami tenang banget, ga kesusuh. Buat yang mau naik DAMRI dari Gambir ke Lampung di musim libur gini, mending beli tiket jauh-jauh hari, jangan on the spot. Kemungkinan ga dapat tiket besar banget. Kami beli tiket kelas bisnis, harganya 155 ribu/orang (per. Desember 2016). Wah, lumayan terjangkau ya. Jarak tempuhnya kurang lebih 6 jam kalau lancar. Ada pilihan kelas lain, yaitu bis eksekutif dan royal class, dua2nya menyentuh harga 200ribuan.

Selain Bis DAMRI, ada beberapa cara lain untuk menuju Lampung. Bisa dengan naik kereta api, berangkat dari Stasiun Tanah Abang dengan tiket yang katanya murah meriah dan langsung sampai di Pelabuhan Merak (jalan bentar bisa langsung naik kapal). Kalau mau ketengan, naik kopaja dan bis kota juga bisa banget, sayang, saya gak tahu detailnya. Dua cara tersebut jauh lebih murah, meski perjuangannya juga kudu lebih ya. Naik Bis DAMRI ini termasuk yang nyaman, gak pusing, udah tinggal duduk aja. Kalau cara yang lebih mahal sih banyak, bisa dengan carter mobil atau naik pesawat aja sekalian.

Terminal bis DAMRI Gambir berada di dalam komplek stasiun, dekat pintu masuk utama stasiun. Satu jam sebelum keberangkatan, bisnya sudah ngetem di parkiran. Bapak-bapak supir, kernet, dan petugas terminal berseragam biru muda terlihat dari kejauhan. Ini pertama kalinya saya naik bis DAMRI, no expectation. Nyampe di dalam bis, eh enak banget. Padahal ini kelas paling rendah, ber-AC, ada WC juga lho. Terus yang fascinating, ada colokan listrik di masing-masing kursi! Wah keren banget! Posisi tempat duduk - dua-dua, jalan di tengah memang agak sempit, ruang kaki juga sempit. Untungnya Tina pesan kursi yang paling depan, lumayan lebih lega dari posisi kursi yang lain dan kami jadi bisa lihat pemandangan juga. Bedanya dengan bis kelas lain terletak pada penempatan kursi ini, di kelas eksekutif dan royal class – jumlah kursi lebih sedikit jadi lega banget.

Sekilas fasilitas bis DAMRI bussiness class

Bis kami berangkat ngaret, jam setengah 11 siang (harusnya jam 10 pagi). Gara-gara ada seorang penumpang yang lama ditungguin tapi tidak datang juga. Akhirnya itu kursi untuk orang lain. Ada pula seorang Bapak tua yang ikut numpang karena ada keperluan mendesak, tapi karena dia ga ada nomor kursi jadi duduk di pelataran dekat Pak Supir. Hmmm.. Awalnya saya mikir, apa ni orang sengaja diterima supaya supir & kernet dapat uang tambahan. Tapi ternyata pas Bapak ini mau kasih uang, mereka menolak lho! Murni mereka mau bantu si Bapak. Saya jadi terharu. Eh koq baper. Keadaan bis full book. Terus serunya, banyak penumpang sudah pakai logat Lampung, padahal masih di Jakarta tapi berasa udah nyampe Lampung. Oke perjalanan dari Jakarta menuju Lampung sudah dimulai!

Bis DAMRI menggunakan jalan tol untuk mencapai Pelabuhan Merak. Tol kadang macet, kadang lancar. Syukurnya tidak sampai stuck. Pak Supir oke juga ni nyetirnya, gak begajulan. Dari Jakarta sampai Cilegon ga ada pemandangan yang gimana, masih biasa-biasa saja. Sampai akhirnya kita mendekati Pelabuhan Merak, sugoi! Laut! Saya baru sadar, gile udah lama banget ya, saya ga pernah liat laut sedekat ini! Terus yang kocaknya, norak ngeliat kota pelabuhan kayak Merak gini, Tina dan saya malah ngayal “Wah, kayak Santorini! Santorini van Java”. Ya oloh, padahal jauh banget dah. Tapi not bad lho! Pelabuhan Merak rapih, ga keliatan preman-premannya. Suasana pelabuhan juga lengang, bis ga pake ngantri, udah bisa langsung masup ke kapal. Sensasi bis masuk kapal ini juga cukup bikin heboh, berasa ditelan paus.

Halo Merak!

Nah, kami naik kapal Mutiara Persada. Kapalnya besar banget, muat kendaraannya juga banyak, ada mungkin 20 kendaraan – mulai dari motor, mobil pribadi, bis, sampai truk. Kapal ferry ini lebih besar dari kapal yang dulu pernah saya naiki pas nyebrang dari Banyuwangi ke Gilimanuk. Tangga masuk dari garasi ke dek atas lumayan curam. Oh ya, ada aturan gak boleh ada penumpang menunggu di dalam kendaraan, jadi semua harus naik ke dek atas. Ada dua jenis ruangan untuk penumpang, Ruangan Angin-Cepoi & Ruangan Air-Conditioner (nama resminya ruang lesehan). Di ruang Angin-Cepoi, ada dua lantai, dua-duanya terbuka. Angin laut yang heboh itu dihalangi dengan terpal. Kalo di ruang Air-Conditioner, ada di dek bawah, tertutup, adem karena ber-AC beneran, sayangnya ruangan lesehan ruame-ruame, bayar pula 12ribu/orang (per. Desember 2016). Untuk toilet, cukup bersih loh, ga jijay bajay, mesti sedia tissue kering dan basah sendiri ya gengs.

Sekilas pemandangan di kapal

Banyak juga orang yang memilih duduk di luar kedua tempat tersebut. Mungkin ingin menikmati deburan ombak dan angin laut kali yah. Angin laut segar awalnya, tapi lama-lama bikin kulit lengket dan rambut kusut, jadi saya lebih memilih duduk di kursi penumpang aja. Banyak hal yang menarik di kapal. Di ruang penumpang cepoi-cepoi, ada seorang Bapak yang semangat sekali berjualan! Kayaknya si Bapak ini ABK, karena punya kartu identitas. Jualannya banyak bener, mulai dari bola duri magnet yang katanya berkhasiat menyembuhkan penyakit (dihargai serelanya pembeli), salep walet yang bisa menghilangkan jerawat (ngakunya) asli Cina (harga 20 ribu), buff – penutup kepala gaul ala anak gunung (harga 10 ribu), permen jahe (sebungkus isi 3, 5 ribu), tas serba guna bisa jadi topi bisa jadi gendongan bayi segala asli dari Bandung (harga 20 ribu), kaos kaki brand Elle! (harga 10 ribu sepasang), sampai buku-buku bacaan random (5 ribuan).

Bukan cuma barang dagangannya yang yahud. Cara jualannya juga unik bin ajaib. Suara Bapak ini keras banget kayak TOA, gak capek loh dy ngomong sekitar 2 jam (mulai dari kami naik kapal sampai setengah jam lagi mau turun lho!). Hebat juga marketingnya, persuasif banget dan banyak lelucon-lelucon segar yang bikin ngakak. Tina, Ndut, dan saya ketawa-ketawa mulu denger si Bapak ini ngomong, hiburan gratis di tengah cuaca yang panas. Kocaknya, mungkin karena kami bertiga ketawa mulu, kami ga pernah ditawarin barang. Padahal penumpang lain dapat sampel barang dagangannya (kalo minat bayar, kalo ga ya kudu dibalikin). Mungkin si Bapak udah mikir kami bertiga ini muka-muka ga bakal beli kali yah.. Saking kerennya itu promosi, banyak lho yang beli! Bahkan ada satu Ibu2 yang beli semua jenis barang jualan si Bapak. Salut bener deh!

Mario Sepuh lagi jualan di kapal

Lantai 1 milik Bapak Lapakers yang cara jualnya mirip host Golden Ways itu. Di lantai 2 terdapat biduan-biduan dangdut yang menghibur penumpang dengan suara merdu. Lucunya, mereka nyanyi di lantai atas, tapi minta saweran juga ke lantai bawah. Mbak-Mbak penyanyi ini cantik-cantik, alisnya cetar, baju ketat, make up kudu sering touch-up maklum keringetan kena iklim laut. Buat yang males dengerin Bapak Lapak ngoceh-ngoceh, banyak yang pindah ke lantai atas buat nonton panggung tersebut. Kebanyakan laki-laki. Wahahhahah.. Di sekitaran kapal, banyak lapak-lapak jualan, saya gak tau itu resmi apa gak. Ada penjual pecel, penjual aksesoris ala Jalan Malioboro, penjual jajanan ala kadarnya. Kantin di kapal hanya menjual yang instan-instan seperti Pop Mie gitu deh. Saya salah ni kaga beli makan aja pas di Gambir, alhasil merasa kelaparan. Adik saya mabok laut pula haduhhhh..

Tidak terasa 2,5 jam berlalu di lautan, ngarep bisa melihat Krakatau ya ternyata kaga keliatan hahahah.. Selat Sunda yang di peta terlihat kecil, ternyata setelah dilalui – wow jauh juga. Hey! Kami akhirnya sampai di Pelabuhan Bakauheni. Pelabuhan Bakauheni ini mirip-mirip dengan Merak tapi lebih kecil si memang, keluar dari gerbang pelabuhan, bis kami berbarengan dengan truk-truk. You know lah, barang-barang di Sumatra kan banyak ‘ngimpor’ dari Jawa. Selepas ini pemandangan di perjalanan hanya pohon-pohon pisang, rumah, tempat makan, dan toko sederhana. Ada yang cukup menarik yaitu Menara Siger, tinggi sekali berada di bukit. Dengar punya dengar dari menara ini kita bisa melihat pesona lautan ujung Selatan pulau Sumatra ini. Waaaaww..

Sejauh mata memandang #uyeah

Menjelang sore hari sekitar jam setengah 5, Bis DAMRI berhenti di Rumah Makan Padang Siang Malam (masih di sekitar daerah Bakauheni). Kami diberi waktu sekitar setengah jam untuk makan dan ke toilet. Lumayan juga masakan Padang ini, mahal, tapi wajar untuk sebuah rumah makan singgah. Saya makan lele goreng + nasi + teh tawar hangat 20 ribu (per. Desember 2016). Dan kami melanjutkan perjalanan sampai ke Bandar Lampung sekitar 3 jam lagi. Jalan lintas Sumatera ini kecil untuk ukuran jalan provinsi utama yang dilalui oleh buanyak sekali kendaraan. Di beberapa titik, terlihat pembangunan Tol Trans Sumatra. Mungkin 3-4 tahun lagi baru jadi, wah asik banget kalau ada tol. Road trip Sumatra akan lebih lancar dan aman.

Ngomong-ngomong soal keamanan, jalanan di Sumatra terkenal agak berbahaya ketika malam hari. Tina sendiri pernah mengalami kehebohan menghadapi ‘bajing loncat’ di daerah Lahat (Sumatera Selatan, dekat Jambi). Bajing loncat ini adalah sebutan untuk para begal bersenjata di wilayah Sumatra, mereka beroperasi ketika hari mulai gelap. Lahat sendiri memang dari dulu terkenal angker, wilayahnya sepi dan sebagian besar hutan. Nah, ketika itu Tina dan keluarga pulang kampung dari Bogor ke Sumatera Utara, sudah diperingati jangan sampai lewat Lahat pada malam hari tapi karena yang mau lewat waktu itu rombongan sampai 8 mobil jadilah mereka memberanikan diri. Gak disangka, ada satu mobil Om nya Tina yang diikuti oleh para begal tersebut, sampai dilempar linggis segala. Wew, untung selamat sampai tujuan meskipun harus perbaiki mobil dahulu setelah keluar dari daerah itu. Well, menyeramkan ya.

Saya jadi merasa beruntung, bisa tinggal di Pulau Jawa dengan jalanan yang mau dilalui kapanpun aman dan lancar-lancar saja. Menyetir kendaraan di Jalan Lintas Sumatra ini butuh keahlian khusus juga ni, maklum padat bok dengan kendaraan-kendaraan yang besar. Kudu nekad juga, kalau ga nekad gak tau kapan nyampe nya. Pemandangan menarik lain adalah Kereta Babaranjang (Batu Bara Rangkai Panjang) yang ngetem di sekitar daerah Tarahan, baru pertama kali liat langsung juga ni, panjang bener ya, seingat saya jumlah gerbong mereka sampai 60 lho! Ga kebayang, pas buru-buru eh di jalan kecegat Babaranjang bisa 10 menit nungguinnya. Banyak pemandangan cantik lain di Jalan Lintas Sumatra, kita bisa liat laut dari samping jendela bis. Adem banget! Pengen nyemplung dan nyeruput es kelapa muda.

Perjalanan Jakarta-Lampung kemudian berakhir di halte Telkom daerah Tanjung Karang Kota Bandar Lampung, sekitar jam 7 malam kami sampai. Hmmm.. Lama juga ya sekitar 8 jam. Icott menjemput kami dengan muka sumringah (setelah sebelumnya kelaparan gegara kelamaan nungguin koq ga nyampe-nyampe ini bis), waaaa.. Akhirnya bisa ketemu lagi ya Cott. Lanjut, kami naik angkot disko khas Lampung (beneran disko, dengan speaker besar dan lampu warna warni kelap kelip) menuju rumah Icott. Makasih buat Bapak Supir dan asisten Bis DAMRI yang sudah mengantar kami selamat sampai di tempat tujuan dan tengs juga buat Adek-Adek imut yang minta di telolet-in klakson bis di sepanjang jalan. Oh my God! Kenapa viral sekali fenomena telolet ini! Selamat datang Tina, Ndut, dan Puji (dan Creamy!), di Lampung!

Comments