Main Bareng Gajah Way Kambas

Ketika sekolah dasar dulu, pernah saya membaca tentang Taman Nasional Way Kambas. TN Way Kambas ini terkenal dengan atraksi gajah main bola. Itu saya baca sudah belasan tahun yang lalu, meski sekarang nama Way Kambas sudah tidak se-booming waktu dulu, tapi saya masih penasaran banget kayak apa memang bentukan Way Kambas hari ini, ketika pemerintah dan organisasi perlindungan hewan melarang segala bentuk eksploitasi terhadap hewan. Apakah gajah-gajah yang main bola dulu sekarang masih doyan sepakbola? Apakah gajah-gajah masih nge-fans dengan Beckham?

Icott, Dayu (sepupu Icott), dan Dicky (pacar Dayu), yang lahir dan besar di Lampung pernah ke Way Kambas, tapi itu juga sudah taun-taunan yang lalu jaman masih belia (masih kuecil). Jadi sudah lupita juga bagaimana bentukan Way Kambas. Tina, Ndut, dan saya belum pernah ke sana sama sekali, selama ini hanya tau dari buku IPS. Even, sebagai muda-mudi generasi instagram pun jarang nemu foto orang liburan ke Way Kambas, lagi gak populer. Jadi ya tak tau kita gimana Way Kambas itu, hanya ngeh bayangan sekilas dari googling dan blog para netizen (itupun gak banyak).

Sehari setelah Natal, kami ber-7 (Icott, Mak Julite, Dayu, Dicky, Tina, Ndut, dan saya) berkesempatan main-main ke Way Kambas, meski sebenarnya tidak tahu betul letaknya dimana. Hahahaha.. Maminya Icott ingat samar-samar rute nya, dan memang tidak terlalu sulit. Lalu ingatan Mak Julite ini diperkuat dengan hasil pencarian kami di google. Kurang lebih begini rute perjalanannya : dari rumah Icott di Bandar Lampung – Metro – Pekalongan - Sukadana – Way Kambas. Itu bener ya nama daerahnya Pekalongan, Pekalongan bukan hanya ada di Jawa Tengah, di Lampung juga ada. Wah, ya udah dapet rute gampang nih, kami pede sih banyak petunjuk di jalanan menuju Way Kambas jadi santai-santai aje. Selain menggunakan kendaraan pribadi, kita juga bisa naik bis DAMRI menuju ke Way Kambas, naiknya dari terminal Rajabasa di pagi hari, nanti pulangnya naik bis yang sama kembali ke Rajabasa pada sore hari. Bisnya mirip Bis Trans Jakarta.

pagar menuju pusat konservasi

Kami geng random nan ceria berangkat sekitar pukul 9 pagi, mobil sewaan sudah sampai rumah Icott dari tadi malam, driver perjalanan ini adalah Dicky. Kami cewe2 ber-enam duduk cantik aja di kursi penumpang. Jalan-jalan ini bagai piknik keluarga, Mak Julite bawa serantang makanan homemade yang menjadi makan siang kami semua. Lalu, ga lupa bawa tiker juga. Wah.. Asik banget yah. Di jalan kami juga ga lupa mampir convenience store buat beli jajanan dan air minum. Wihihhhh.. Seperti kembali ke sekolah! Piknik.. Piknik..

Jalanan dari Bandar Lampung sampai ke Metro memang agak ramai bersaing dengan truk dan bis. Tapi lihainya setiran si Dicky bisalah selap-selip, namun sesampainya kita di daerah Sukadana hmmm.. berbeda 180 derajat. Sukadana ini terletak di Lampung Timur, Lampung bagian Timur ini jauh lebih sepi ya. Sunyi banget jalanan, sampai kami pun horor sendiri. Malah kalo malam-malam bahaya lho gengs! Banyak begal. Ya ampun, siang aja hening begini apalagi malem yah. Untung hari itu kami ngelewati dua rumah warga yang lagi ada upacara nikahan jadi lumayan lah melihat secercah kehidupan *wesedew bahasa gueh. Sudah sepi lalu lalang kendaraan (bahkan motor aja jarang), gak ada pom bensin pula. Lalu, ternyata plang petunjuk yang kami harapkan pun gak ada dong. Sejenak kami bingung.

Masing-masing ngutak-ngatik hape yang katanya smart itu, eh kalo gak ada sinyal mah odong-odong. Operator seluler kami bertujuh kebeneran beda-beda, dan kesemuanya metong kaga ada sinyal. Paling kocak Tina yang ngaku ada sinyal tapi pas coba buka google maps hanya kelihatan garis-garis jalan doang ga ada tulisan dan keterangan lebih lanjut – peta buta. Waduh ya udah mau gak mau nanya orang, sembari rada parno disihir. Kami bertanya ke dua orang, dan dua-dua nya juga bilang lurus-lurus aja, orang terakhir malah bilang ‘sudah dekat 1 kilometer nanti ada gapura Way Kambas’. Wah kita udah senang kan, hore udah dekat. Tapi itu hanya ilusi, karena masih berkilo-kilo meter lagi. Orang sabar disayang Tuhan, mendekati gapura Way Kambas smartphone Ndut akhirnya bisa dipake buat lihat google maps, oh yeah memang jalan kita bener kaga nyasar.

Sebenernya disayangkan sekali rambu-rambu atau papan petunjuk jalan menuju Way Kambas ini sedikit banget. Dari Bandar Lampung sampai ke Way Kambas kami hanya lihat dua papan yang bertuliskan Way Kambas padahal jaraknya sampai kurang lebih 70 kilometer, wth pelit amat ini pemda. Lanjut setelah menemukan gapura Way Kambas dengan patung gajah main bola di kanan kirinya, kira-kira 5 kilometer kemudian kami sampai di gerbang loket pengunjung, excited hore udah sampai, tapi si petugas bilang “Masuk jalan ke sebelah sana, 9 kilo lagi” Dicky langsung melengos, ngarep udah nyampe ternyata kudu nyetir lagi. Sabar ya Dicky. 

Sembilan kilometer ini kami lalui di jalan menuju hutan-hutan agak belantara, kanan kiri banyak pohon, burung, dan monyet! Jalan aspal yang tadinya di kilometer awal masih mulus, langsung jadi offroad di pertengahan sampai akhir. Ati-ati di sini banyak onyet-onyet nyebrang dan berkeliaran. Manusia-manusia suka buka kaca jendela mobil dan kasih makan, padahal gak boleh lho! Ga baik buat kita dan buat monyet juga. Buka jendela mobil bisa memperbesar kemungkinan kita diserang (ingat! Mereka itu liar) dan makanan yang kita kasih itu mostly ga cocok buat pencernaan mereka – bisa bikin penyakitan dan mati si onyet. Di beberapa bagian jalan juga banyak yang tergenang air dan banyak ranting rendah yang bisa mengenai kendaraan kita, so let’s be careful!

masakan Mak Julitte yummy

Weh jauh juga yah perjalanan kami ke Way Kambas, hampir 3 jam. Berada di TN Way Kambas di hari libur seperti ini berasa di pasar kaget (seriusan saya). Rame banget astaga, bagian depan dijadikan sarana parkir, tempat piknik, banyak orang jualan, dan toilet. Baru aja kami turun dari mobil, lalu melihat banyak orang gelar tiker dan makan. Ya udah kami juga jadi ikutan pasang tiker dan makan siang, sebelumnya pada ngacir ke toilet dulu saking kebeletnya, btw toilet-nya agak jorok dan air kerannya kecil. Bayangan TN Way Kambas yang kayak hutan-hutan gitu langsung bubar dari pemikiran saya, sumprit ini kayak Kebun Binatang aja tapi khusus gajah. Lalu dimanakah gajahnya? Gajahnya berkeliaran di padang rumput yang ada di ujung utara tempat piknik, dipisahkan oleh sungai dan rawa. Gajah-gajah yang nangkring di tempat kami piknik semuanya dirantai. Kasian, tapi kalo kami yang diserang lebih kasian lagi sih.

Sudah selesai makan siang. Kebetulan ada atraksi gajah yang mau mulai, waktu itu sudah hampir jam setengah satu siang. Wah kebeneran banget, ya udah Icott, Mak Julite, Tina, Ndut, dan saya beburu ke tempat pertunjukan. Penasaran dalam hati emang atraksi gajak gimana, kan udah gak boleh main bola. Dayu & Dicky jaga kandang, mungkin butuh waktu pacaran berdua hahahah.. Tiket masuk atraksi 20 ribu rupiah per-orang, cukup mahal, kirain saya 10 ribu aja. Orang-orang berkerumun tanpa antri, di dekat loket ada speaker besar mendengungkan lagu dangdut bergantian dengan cuap-cuap sang narator acara yang lebih mirip penyiar radio daerah. Cuaca cukup panas nyenenet (matahari kejam), tapi tak apo demi lihat gajah, sudah sampai Way Kambas kan.

Tempat pertunjukan sangat apa adanya, sekilas kayak lapangan basket outdoor di sekolahan. Tempat duduk bertingkat mungkin bisa memuat sekitar 200-300 orang, penonton penuh berdesak-desakan, banyak juga yang baru datang pas acara mau mulai, terpaksa mereka berdiri di dekat arena pertunjukan. Dari tempat duduk saya yang berada di ujung baris tengah bisa melihat para pawang dan gajah bersiap-siap. Weh besar ya gajah-gajahnya. Gak menunggu terlalu lama, acara ini mulai, narrator mengenalkan gajah-gajah satu per-satu (saya udah ga inget namanya siapa aja). Ada 4 gajah keseluruhan mereka baris-berbaris memegang buntut masing-masing menggunakan belalai. Lucu juga, nurut-nurut ya.

baris yaaa yang rapih

Setelah mengucapkan salam selamat datang dengan membungkuk, eh beneran mereka bisa membungkuk ‘nuwun’ gitu, serta mengibarkan bendera - satu persatu mereka pergi dan atraksi pun dimulai. Pertunjukan berlangsung sekitar 45 menit, terbagi menjadi beberapa ajang unjuk gigi kepintaran : gajah berhitung, gajah tendang bola, gajah hulahoop, gajah berdiri dengan satu kaki, gajah angkat pawang, gajah dangdut, dan gajah saweran. Acara dipandu oleh sang narator yang super heboh dan becandaannya Om-Om banget. Ketika gajah berhitung, ada seekor gajah jantan dewasa yang dipersilakan masuk ke arena lalu ada seorang anak kecil yang memberikan soal hitungan sederhana, waktu itu si anak bertanya berapakah 2+3. Nah di lapangan sudah ada tiang dengan berbagai gantungan angka dari 1-5 (sudah diacak sebelumnya). Dengan ajaib gajah mengambil angka yang benar yaitu angka 5, setelah sebelumnya dia sempat kebingungan dan galau mau ambil angka yang mana.

pinter bisa berdiri

Gajah tendang bola, bukan gajah main bola, ada beberapa gajah yang beratraksi kali ini. Mereka satu persatu diberi kesempatan untuk menendang bola, bola yang dipakai besar sekali dan enteng kayaknya terbuat dari gabus. Lucu mereka, ada yang bisa menendang sampai goal, ada yang nendang tapi lemes, ada yang asal-asalan. Lalu atraksi selanjutnya, gajah hulahoop, dengan menggunakan belalai mereka memainkan hulahoop, jago juga. Bahkan ada satu gajah yang meski hulahoop sudah jatuh dia bisa mengambil dan memutarnya kembali, saya aja gak bisa main beginian. Yang bikin gemas (this one is my favorite) ketika gajah-gajah menampilkan kemampuan berdiri menggunakan dua kaki, hihihi.. Mereka imut-imut, seperti di kartun-kartun bisa berdiri gitu. Suasana pentas berubah agak menegangkan ketika atraksi gajah angkat pawang, di sini peran trust antara gajah dan pawangnya sangat penting. Gimana gak penting, sang pawang duduk dan diayunkan di udara dengan menggunakan belalai gajah, jadi belalainya seperti tali ayunan. Wew.. Bayangin kalo ga percaya bener, itu bisa aja gajah ngelempar si pawang kan. Serem deh..

huwaaaa berayun di belalai gajah

Penghujung acara diisi dengan persembahan spesial dari seluruh gajah-gajah, saya kira mereka mau ngapain, apa mau tumpuk-tumpukan ato nari balet. Ternyata mereka bisa joged tripping dengan pengantar lagu-lagu disko dangdut. Nah, di sini saya dan teman-teman tepok jidat, it’s okay sebenarnya mereka hanya disuruh joged tapi ujung-ujungnya saweran, yeah, saweran duit ala penyanyi dangdut pantura. Para gajah sembari goyang-goyang badan mengambil uang saweran dari penonton pakai belalai mereka lalu di-estafet ke pawangnya yang duduk di punggung gajah. Kami kecewa berat dan sejujurnya miris melihatnya, gak jadi happy. Dalam hati mikir juga, apa tiket per-orang 20.000 itu gak cukup yah untuk biaya kehidupan mereka.

Bubaran atraksi, kami diperbolehkan turun ke lapangan untuk berfoto dan ngobrol-ngobrol dengan gajah & pawang. Bubar sembari masih syok liat acara saweran, “Koq guweh kesel ya liatnya” kata Tina. “Ih apaan sih masa ada saweran gitu” kata Icott. Haduh habis nonton atraksi gajah malah terbeban guilty feelings begini. Ya memang sih pagelaran atraksi ini diadakan hanya pas musim liburan aja (Juni dan Desember), tapi tetep aja ngenes bro! Sempat kami ikut bertumpahruah dengan penonton lain di lapangan, foto-foto seperlunya. Sedih juga lihat gajah-gajahnya apalagi yang masih kecil-kecil, mata mereka berair, kata Pawang itu karena pada dasarnya gajah makhluk malam jadi mereka kalo kena sinar matahari kelamaan matanya jadi berair. Huhuhuh..

Setelah itu kami bergegas jalan kaki muter-muter bagian taman nasional yang lain. Gak jauh dari tempat piknik mungkin hanya sekitar 500 meteran bisa ditemukan tempat gajah mandi, tempat minum, kandang, dan hamparan rawa plus padang rumput. Beberapa gajah berkeliaran bebas mencari makan ditemani dengan burung-burung, wah udah berasa di Afrika dah *lebay. Ga jauh dari tempat kami liat-liat, ada pawang yang mau memandikan gajahnya, gede banget sumpeh itu badan gajah masuk ke kolam mandi, air kolam berasa berombak. Serunya mereka bakal semprot-semprotin aer juga lewat belalainya, pengunjung banyak yang kebasahan wahahhaha..

(searah jarum jam) : bekas tapak kaki gajah, pup gajah,
lagi mandi, kandang

Bagian menyenangkan di Way Kambas adalah kita bisa berinteraksi dengan gajah sedekat mungkin (dalam pengawasan pawang tentunya). Pawang-pawang juga ga sombong mau menjawab pertanyaan pengunjung yang aneh bin ajaib. Ohya menarik banget loh, masing-masing pawang punya alat mirip palu untuk memerintah si gajah. Nah ujung dari alat ini tajam, kenapa tajam? Karena kalo ga tajam, ga berasa, kulit gajah tebel banget coi. Jadi bukannya kejam gajahnya ditusuk-tusuk. Hahahaha.. Para pawang ini usia nya bervariasi ada yang masih pada muda, banyak juga yang sudah berumur dan telah mengabdi jadi pawang gajah selama belasan bahkan puluhan tahun. Nah buat pawang masih muda gajah mereka juga remaja belia, masih pendek-pendek. Pawang yang tua-tua pegang gajah yang dewasa. Bisa dibilang jika mereka nanti sampai tahun-tahun berikutnya masih jadi pawang, ya mereka tua bersama gajah yang mereka asuh. Sweet.

gajah yang lagi bebas berkeliaran

Jumlah gajah di Way Kambas ini tidak lah banyak, sekarang hanya ada sekitar 50-an ekor. Menurut para pawang, gajah-gajah yang lain sudah ditransfer ke berbagai kebun binatang dan taman satwa se-penjuru Indonesia. Berhubung di sini dulu adalah tempat pelatihan, gajah-gajah dari Way Kambas juga terbilang jinak dan sudah terbiasa bertemu dengan manusia, so mereka lah rekomendasi pertama untuk dikirimkan ke kebun binatang. Hmmm.. Kasian juga ya gengs, padahal mereka akan lebih bahagia hidup di hutan rimba. Tapi makin liarnya pembalakan hutan untuk perkebunan sawit dan karet juga mengancam kehidupan mereka, karena kenyataannya hutan Sumatra tidak se-asli jaman dahulu. Para pawang optimis masih banyak gajah-gajah liar lain di pedalaman hutan yang belum terjamah dan sekarang TN Way Kambas ini bertujuan sebagai pusat konservasi, semoga tahun-tahun berikutnya makin banyak gajah yang diselamatkan. Tapi Pak plis yah gajah-gajahnya jangan disuru dangdutan dan disawer lagi. 

nongkrong bareng si imut

Tidak terasa hari sudah hampir sore, kami bergegas pulang ke Bandar Lampung. Gak aman kalo menunggu lebih sore lagi, maklum yah daerah sepi dan banyak begal. Untuk yang berminat melihat sunrise dan sunset di TN Way Kambas, terdapat penginapan lho! Meski sederhana tapi sepertinya lumayan nyaman, kapan lagi bobo berdekatan dengan mamalia ramah ini. Kunjungan singkat ke Way Kambas ini menambah list taman nasional yang pernah saya kunjungi dan banyak hal baru yang bisa dipelajari dari sini. Terima kasih banyak Bapak-bapak dan Mas-Mas Pawang beserta gajah-gajah Sumatra yang kece-kece!

Comments