Memahami Duka
Perpisahan bukanlah sesuatu
yang menyenangkan. Jujur, saya juga tidak menyukai perpisahan. Saya senang bertemu
orang baru tetapi sangat berat untuk melepas orang tersebut untuk pergi. Banyak
terima kasih untuk teknologi masa kini, memungkinkan kita untuk tetap berkomunikasi
dengan orang-orang yang jauh. Tetapi apa jadinya apabila orang tersebut telah meninggal,
nothing left. Perlahan-lahan dalam hati
kemudian menyesal mengapa waktu dulu - ketika orang tersebut masih ‘hidup’ kita
tidak berkomunikasi dengannya lebih sering.
Meninggal dunia adalah
fase yang pasti kita lewati dalam kehidupan ini. Manusia tidak mungkin bias hidup
abadi. Orang-orang yang kita lihat kini, suatu hari akan mati. Dan kita akan merasa
kehilangan. Beberapa minggu belakangan, ada banyak cerita duka menyelimuti kehidupan
keluarga & teman-teman saya. Bulan September kemarin, Engkong meninggalkan keluarga
kami di usia yang sudah sepuh yaitu 91 tahun. Kami sedih tapi juga lega karena kasihan
juga apabila Engkong hidup terlalu renta, fisiknya termakan penyakit tua. Tidak
lama sepeninggalan Engkong, ada saudara jauh yang juga meninggal dunia karena sakit.
Di luar family, beberapa teman saya kehilangan
salah satu dari orangtua mereka. Meninggal di usia yang tidak terlalu tua,
melihat anaknya menikah pun belum. Rasanya pasti, sedih mendalam, ingin minta keajaiban
Tuhan untuk membangkitkannya kembali.
Mati itu wajar.
Penyebab yang bisa membuatnya tidak wajar. Seperti kasus Mirna yang keputusan sidangnya
masih belum final sampai sekarang, atau kasus Akseyna yang juga masih menjadi misteri.
Jika penyebabnya sakit, setidaknya ada 2 opsi sebab, sakit dadakan atau sakit
terminal. Pilih mana? Peristiwa lain yang menyebabkan meninggal, bisa kecelakaan,
dibunuh, atau bunuh diri. Dua penyebab terakhir memang yang paling dramatis.
Sampai sekarang belum ada yang bisa membuat manusia tidak mati, jadi rasanya ingin
bilang ke semua orang ‘be used to it!’ tapi
gak bisa begitu. Bagaimana pula kehilangan seseorang apalagi orang yang
tersayang tidak akan pernah bisa ‘biasa-biasa saja’.
Semakin tua, orangtua
saya - terlebih Papa sangat heboh jika ada yang meninggal dunia, padahal orang
yang meninggal itu bukan orang yang dekat, keluarga juga bukan, bahkan kenal aja
nggak – hanya ‘tau’. Saya juga heran kenapa harus sebegitu hebringnya, tetapi
lama kelamaan saya jadi memahami. Respon yang menurut saya berlebihan itu muncul
karena dia juga sudah mulai tua dan khawatir dengan ‘panggilanTuhan’. Saya jadi
mikir, apa nanti saya juga begitu kali yah pas sudah seumur beliau (kalo nyampe).
Lagi-lagi tidak bisa biasa menghadapi kabar duka.
Ketika SMA saya menonton
film biografi Soe Hok Gie yang disutradarai oleh Riri Riza. Film berjudul GIE
ini cukup membuat pandangan saya mengenai kematian bergeser, geser ke arah yang
lebih positif. Dalam buku hariannya Gie menulis “seorang filsuf Yunani pernah berkata
nasib terbaik adalah tidak pernah dilahirkan, kedua dilahirkan tapi mati muda,
dan yang tersial adalah berumur tua. Berbahagialah mereka yang mati muda, makhluk
kecil kembalilah dari tiada ke tiada, berbahagialah dalam ketiadaanmu.” Untuk seseorang
yang masih muda, Gie memang berbeda, bacaannya buku-buku filsafat sehingga dapat
meng-quotes kata-kata ini. Dalam hidup
sehari-hari kebanyakan orang takut dengan kematian, namun Gie menilai lain –
semakin cepat mati semakin bahagia. Senada dengan Gie, Basuki Tjahaja Purnama
alias Ahok juga melihat kematian sebagai sebuah keuntungan. Mengutip pernyataan
Alkitab Filipi 1 ayat 21 “Karena bagiku hidup adalah Kristus, mati adalah keuntungan”,
Ahok dengan percaya dirinya mantap untuk tidak takut pada kematian. Setiap mendengar
kedua kata-kata dua tokoh ini mata saya berkaca-kaca. Hmm.. Betapa beruntungnya
kita dapat meninggal dunia.
Pemikiran Gie dan Ahok
mengenai kematian kemudian saya amini. Saya setuju dengan mereka, saya piker beruntunglah
mereka yang telah meninggal dunia karena sudah terbebas dari banyaknya tuntutan
keduniawian yang makin lama makin ngelunjak. Meninggal memang menyedihkan bagi
orang-orang yang ditinggalkan, tapi siapa tau ternyata hal ini adalah the best
part dari kehidupan. Oleh karena itu ditaruhnya di belakang, bagai cerita
film – bagian akhir adalah bagian terbaik. Who
knows? Lagipula dengan memaknai kematian sebagai sesuatu yang positif bias membuat
kita (yang masih hidup) seolah mendapat jaminan bahwa orang-orang yang sudah meninggalkan
kita itu bahagia di sana. Memang, kita tidak bisa biasa aja untuk menghadapi kematian,
tetapi kita dapat melihatnya sebagai sesuatu yang lebih ngademi.
Good Bye,
Engkong! We love you.
Oey Swie
Giam (1925 – 2016)
Comments