The Story of a Family
Harta yang paling berharga adalah
keluarga. Salah satu barisan lirik lagu sinetron Keluarga Cemara. Sinetron yang
berkisah sebuah keluarga yang terdiri dari Abah yang bekerja sebagai pengayuh
becak, istrinya yang penjual opak keliling, serta tiga anak perempuannya yang
masih kecil-kecil adalah memori yang tidak bisa dilupakan oleh anak-anak yang mengaku
angkatan 90-an, termasuk saya. Untuk ide cerita dan pesan moral yang
terkandung, menurut saya sinetron sekarang belum ada yang bisa mengalahkan.
Saya menonton drama seri ini mulai dari ini diputar sore hari, jadi pagi hari,
dan jadi tengah hari. Bertahun-tahun, mungkin saking gak ada drama seri laen
yang layak disiarkan, cerita Keluarga Cemara mengerak sudah di ingatan saya.
Ajaibnya bertahun-tahun nonton episode yang kadang diulang-ulang, saya selalu
terharu nontonnya.
Melihat dari susunan keluarga,
Keluarga Cemara ini mirip dengan keluarga saya. Terdiri dari Bapak, Ibu,
beserta 3 anaknya yang semuanya perempuan. Kalau tidak salah urutan usia tiga
anak Abah (Euis, Ara, dan Agil) juga tidak beda jauh dengan saya dan
saudara-saudara kandung saya. Dan ketika jaman itu, entah kenapa saya juga
kadang merasa saya mirip dengan si Ara, mirip mukanya, kurus, rambutnya bob
gitu. Hahahaha.. Tapi beruntunglah keluarga saya tidak sedramatis kisah Abah
and family, yang dari awal episode sampai tamat kayaknya ada aja masalahnya.
But, every family has their own story. Mungkin keluarga saya cukup beruntung
memiliki kemampuan finansial di atas Keluarga Cemara, tapi di sisi yang lain
keluarga saya tidak sehangat Keluarga Cemara alias interaksi antar anggota
keluarganya tidak bisa se-akrab mereka. Oleh karena itu ketika saya SD menonton
Keluarga Cemara itu ada perasaan iri dengan si Ara yang walaupun miskin tapi
keluarganya kompak.
This is my family’s story.
Keluarga saya adalah keluarga keturunan Tionghoa pesisir daerah perbatasan Jawa
Barat dengan Jawa Tengah. Ekonomi keluarg kami bertumpu pada sebuah toko yang
tidak besar dan tidak kecil juga. Toko ini telah ada sejak Nenek Buyut, Papa
saya adalah keturunan ketiga yang ‘mewarisi’ usaha keluarga ini. Meski secara
de jure Papa saya yang punya ni toko, tapi secara de facto Mama saya yang lebih
mengelola usaha ini. Papa saya berbeda usia 7 tahun lebih tua dari Mama. Mereka
berdua sebenarnya masih saudara jauh, bertemunya pun unik, awal pertemuan dari
sebuah pintu sambung rumah-toko salah satu kerabat. Ketika itu Papa saya sedang
main ke rumah sodaranya, sedangkan Mama bantu kerja jaga toko di rumah sodaranya
(nah sodara nya ini satu keluarga yang sama ya). Tidak lama setelah pertemuan
tersebut kira-kira hanya satu tahun saja, Papa saya menikahi Mama saya yang
ketika itu berusia 20 tahun.
Saya sih tidak kebayang kalau
jaman sekarang pacaran kilat seperti itu ya. Ya namanya juga beda generasi
hahahaha.. Wanita usia 20 tahun menikah juga bisa dibilang nekad kalau
sekarang, waktu dulu lazim-lazim aja. Nah lanjut, tidak lama setelah menikah di
penghunjung tahun 1986, Mama saya melahirkan Kakak saya. 3,5 tahun kemudian
saya si sotoy lahir, dan 5,5 tahun berselang Adek saya yang ndut lucu lahir. Kalau
melihat foto-foto lama, saya rasa masa keluarga saya ketika Kakak saya lahir
lebih berwarna ketimbang tahun-tahun berikutnya. Smile everywhere, penuh dengan
liburan dan jalan-jalan sekeluarga, pesta ulang tahun, kumpul dengan keluarga
besar. Sedangkan setelah 3 tahun berselang, pas saya lahir, dokumentasi
mendadak jadi sedikit sekali, foto saya pas bayi dikit banget, ada sih tapi
sekelibet-sekelibet bukan saya fokus utamanya. Saya sendiri faktanya pernah
sampai dititipkan waktu bayi karena ketika itu situasi keluarga saya sedang gonjang-ganjing.
Mama Papa tidak lagi seakur dulu. Mungkin bunga-bunga masa awal pernikahan
sudah banyak berkurang ya. Hehehe..
Beranjak usia sekolah, masa saya
sudah bisa ingat dengan apa yang terjadi. Saya tumbuh sebagai anak yang suka
ngambek dan kurang perhatian. Yang saya ingat waktu itu Mama Papa saya sering
bertengkar sampai ada adegan kabur-kaburan dan rebutan anak segala.
Satu-satunya sumber kasih sayang ketika itu adalah Nenek Buyut dan Nenek saya.
Keduanya memang satu rumah dengan kami, maklum kami kan memang tinggal di ‘rumah
keluarga’. Situasi keluarga ini dingin, kaku, cuek, intinya bukan suasana ideal
untuk membesarkan anak. Melihat Papa sering marah-marah, lalu kami juga
anak-anaknya sering kena semprot padahal ga salah apa-apa, melihat Mama sering
menangis dan juga marah-marah, membuat saya trauma dan tidak betah di rumah.
Saya keluyuran maen ke sekolah dan ke rumah teman, karena berada di rumah
membuat saya tertekan, sampai dengan sekarang, saya tidak suka pulang ke rumah.
Saya berkembang punya dunia bermain sendiri, saya berbicara dengan boneka, saya
mengarang-ngarang cerita pendek untuk ditulis di buku, dan membuat berseri-seri
komik yang saya gambar sendiri. Saya jadi anak yang sangat tidak peduli dengan
keadaan sekitar, saya asik dengan diri sendiri.
Ketika Adik saya lahir,
sepertinya suka cita keluarga saya kembali tumbuh. Adik saya ini seperti membawa
keberuntungan, everybody loves her. Karena lucu, gendut, bule, pada waktu jaman
itu jarang ada anak lucu kayak adik saya gitu. Waktu itu Kakak saya sudah besar
sudah SD pertengahan dengan prestasi sekolah yang luar biasa, termasuk masuk TVRI
karena juara lomba cerdas cermat. Saya yang cuek ini, terhimpit dengan dua
orang saudara yang stand-out dengan kemampuannya masing-masing, Kakak saya yang
jenius dan Adik saya yang lucu. I developed low self-esteem, bertambah parah
ketika Papa saya mulai sering membanggakan prestasi Kakak saya dan
membandingkannya dengan saya. I have nothing to be proud of. Saya bukan anak
yang pintar, prestasi sekolah saya biasa banget, nilai rata-rata, naik kelas
sudah syukur, rangking 5 itu paling maksimal. Saya juga bukan anak yang cantik,
kurus kering rambut merah (sering maen) bau badan, dan saya juga bukan anak
yang ramah, saya cuek banget, jutek, galak tapi cengeng. Suasana keluarga yang
agak hepi ini juga tidak berlangsung lama, lagi-lagi badai awan panas muncul terlebih
ketika itu Mama Papa juga secara ekonomi belum mandiri.
Toko di rumah pengelola utama
ketika itu adalah Nenek saya (Ibu dari Papa saya), jadi keputusan tertinggi
adalah Nenek saya. Mama Papa saya waktu itu posisinya seperti apprentice ato
anak magang wkakakka.. Papa saya memang dasar kaga bakat dagang mau diajarin
kayak apa aja ga masuk, Mama saya pengalaman dagangnya sudah banyak (sejak
lulus SMA sudah bekerja bantu toko sodara) jadi lebih nyambung dan mungkin
karena passion juga sih ya jadi lebih mudah meyerap ilmu-ilmu dari Ibu
mertuanya. Pada akhirnya Nenek saya lebih percaya dengan Mama, tapi tetap uang
dipegang oleh Nenek jadi keluarga kami tidak bisa semena-mena memakai uang.
Orang luar melihat keluarga kami sebagai keluarga yang berkecukupan, tapi
kenyataannya banyak hal yang membuat kami tidak bisa menikmati hasil jerih
payah itu. Papa saya terjerumus dalam lubang perjudian (jeng.. jeng.. jeng..
udah berasa sinetron nih), sembunyi-sembunyi mainnya, ketika ketahuan dan
dinasehati Papa membalas lebih marah. Dan hal ini yang membuat hari-hari masa
kecil saya makin suram.
Ekonomi keluarga yang sulit
membuat saya dan saudara-saudara saya jadi anak yang prihatin. Terlebih Kakak
saya, sampai sekarang dia jadi orang yang sangat cermat terhadap uang. Saya
sendiri jadi orang yang banyak pertimbangan ketika mau mengeluarkan uang untuk
membeli barang, dipikirin sampai bikin pusing sendiri, dan saya jadi suka
merawat barang karena tau belinya tidak gampang. Kalau Adik saya, dia doyan
sekali menabung. Kami bertiga untungnya dapat dampak yang positif dari
kesulitan ekonomi keluarga ini. Saya ingat waktu dulu, jaman SD kelas 5 saya
menginginkan sebuah jaket warna cokelat merknya Triset, jaket ini harganya 65 ribu
kalau tidak salah. Mahal? Iya mahal. Selama 2 tahun sampai kelas 1 SMP saya masih
naksir dengan jaket itu, akhirnya Mama saya bisa membelikan barang idaman ini
belinya pas diskon barang-barang lama. Jaketnya masih saya pakai sekarang
hahaha.. Kebanyakan barang-barang kami dibelikan oleh Nenek, yang bagus-bagus
pasti dari Nenek, dulu rasanya Nenek itu seperti Santa Claus. Makan enakpun
sama Nenek, kalau sama Mama Papa makan harus nurut – gak boleh minta aneh-aneh
gak ada budget buat itu. Saya jadi bisa makan apa aja sekarang, ga susah makan
ato milih-milih, bersyukur ada manfaatnya.
Begitu kira-kira ritme keluarga
saya sampai saya SMP. Kelas 3 SMP, Nenek saya meninggal dunia. Bumi
gonjang-ganjing, Mama Papa kolaps, perekonomian keluarga makin parah, apalagi
posisi Kakak saya waktu itu baru masuk kuliah semester 1 yang lagi membutuhkan
biaya banyak sekali. Lalu, Mama Papa juga kena masalah dengan keluarga besar,
macam-macam deh. Waktu tahun 2004-2005, tahun yang sangat berat untuk keluarga,
mungkin saya tidak terlalu berasa karena gak terlalu ngerti permasalahannya,
tapi Mama Papa merasakan langsung hantamannya. Hikmahnya, karena kejadian ini
Papa saya menjadi orang yang lebih baik, kebiasaan buruknya mulai ditinggalkan,
Mama mulai ke Gereja, lalu Papa ikut Mama ke Gereja. Mendekatkan diri kepada
Tuhan jadi hidupnya tertuntun dengan lebih positif. Perlu waktu 3-4 tahun
kemudian keluarga kami settle. Kalau dihitung dari awal pernikahan Mama Papa,
they needs 23 years of struggling and battling untuk sampai ke titik settle
yang sekarang ini sedang kami jalani.
Bagaimana keadaan keluarga sekarang
ini? Kami, anak-anak, sudah dewasa, tahun ini Adik saya saja berusia 20 tahun,
tidak menyangka kalau secepat ini ya waktu itu berjalan. Mama Papa saya tetap
menjadi orangtua yang kurang kompak masih suka adu argument gak jelas, tapi
caranya sudah tidak seperti dulu yang harus memakai emosi negatif yang
berlebihan. Pengaruh umur juga kali ya, sekarang sudah menginjak kepala 5
semua, sudah punya cucu, lebih sadar
diri. Sekuritas finansial juga salah satu faktor yang penting (wahai
pasangan-pasangan muda, ingat, kalau belum mapan-mapan banget jangan gegabah
menikah ya), ketika saya kuliah banyak dimudahkan, Mama Papa tidak kesulitan
membayar uang kuliah saya dan juga adik saya sekarang. Kalau mau beli
macam-macam, masih ditimbang-timbang tapi tidak sesulit waktu dulu. Karena kami
pernah sulit, kami jadi lebih menghargai uang, ga pakai sembarangan, yang
sewajarnya saja.
Kakak, Adek, dan saya pun akur
walau jarak memisahkan kami. Kakak saya tetap menjadi anak paling stand-out
dari kami bertiga, dulu saya sebal kenapa Kakak saya ini too good to be true,
tapi sekarang saya sadar kalau saya tidak punya Kakak seperti dia mungkin saya
tidak akan pernah semangat untuk mencoba jadi sebaik dia. Saya sendiri sudah
lebih memaafkan kesalahan Mama Papa yang terdahulu, bertahun-tahun di fakultas
psikologi memang mengasah kemampuan refleksi ya, sampai bisa menulis posting
ini. Adik saya sedang berkuliah, meski merasa salah masuk jurusan tapi dia
punya cita-cita lain yang bright dan on the track yaitu ingin jadi pebisnis
kuliner merangkap chef pastry. Masing-masing punya problema nya, seperti saya
yang susah lulus kuliah dan kena fitnah-fitnah orang tidak dikenal, tapi lalu
keluarga jadi pihak yang selalu mendukung dan menguatkan meski caranya tidak
seperti psikolog yang pelan-pelan dan mengajak berbicara secara akrab dan
hangat. Keluarga ternyata punya caranya sendiri and it works. Mama Papa meski
tidak pernah mengucapkan kata-kata motivasi yang penuh kasih sayang, tapi
optimisme mereka terhadap anak-anaknya menembus kecepatan gelombang suara,
hahaha biar deh agak lebay sedikit kata-katanya..
Mungkin ini memang bukanlah akhir
dari cerita keluarga kami, masih ada episode-episode selanjutnya yang kami
sendiri tidak pernah tahu akan seperti apa kisahnya. Tapi dari apa yang kami
alami sekeluarga kurang lebih 20 tahunan
ini, kami sadar bahwa tidak pernah ada roda yang selalu di bawah, it keeps
moving, up and down, gak jarang lalu roda ini bocor di tengah jalan, melalui
jalan yang penuh batuan atau licin berpasir. People change, semua pernah
berbuat salah tapi jangan sampai menuduh bahwa orang itu tidak akan pernah
berubah. Kami masih berusaha untuk meningkatkan bounding antar satu sama lain
anggota keluarga, yang ternyata lebih mudah dilakukan ketika sudah dewasa.
So, untuk paragraf terakhir di
posting yang sangat panjang ini, saya lagi-lagi mau mengutip quotes fenomenal
sinetron Keluarga Cemara: harta yang paling berharga adalah keluarga. Walaupun keluarga
saya tidak sehangat keluarga lain, tidak terlalu perhatian, masih kurang
kompak, but they are the best, dari segala hal yang terjadi dalam hidup kami,
sampai sekarang kami tetap jadi keluarga, kalau bukan harta yang paling
berharga, mungkin relasi ini sudah jadi korban dan tidak dipertahankan sejak
dulu. Terima kasih Papa, Mama, Cici, & Ndut. Wo ai ni.
Comments