Ngobrol Agama
Beberapa hari yang lalu publik dikejutkan
dengan insiden pembakaran sebuah rumah ibadah di ujung barat NKRI. Saya kaget?
Kalau melihat tema insidennya, sebenarnya tidak terlalu kaget karena tidak
dapat dipungkiri negara kita memang masih rawan dengan issue berbau SARA, tidak
lama sebelum itu, beberapa bulan lalu ada kejadian serupa. Tahun lalu juga ada
kejadian yang mirip, mendengar berita ini seperti menjadi kebal, mungkin saya
kedengerannya bak manusia tidak punya hati ya menganggap kejadian ini bagai
kejadian yang ‘biasa’, tapi itulah realitanya. Masyarakat kita belum mampu
mengontrol diri untuk tidak mencampuradukan segala permasalahan dengan sebuah
kata bernama ‘agama’.
Agama yang sejatinya membimbing
manusia untuk menjadi lebih baik, nyatanya menghancurkan manusianya itu
sendiri. Kerusuhan, pembakaran, pengeboman, penculikan, dan segala tindakan
yang merugikan umat manusia lainnya dilakukan dengan bawa-bawa nama agama. Lho,
katanya mau memuliakan Tuhan tapi koq caranya justru memberikan penderitaan pada
makhluk yang diciptakan Tuhan? Ironis memang. Saya setuju dengan pendapat bahwa
tidak seharusnya agama dibuntuti oleh kepentingan-kepentingan yang lain,
semisal politik berbasis agama, ilmu pengetahuan yang sesuai kitab suci, dll.
It is messed up. Saya senang bagaimana orang barat mengganggap agama adalah
urusan yang personal dan tidak usah disinggung-singgung dalam pergaulan sosial.
It is good to know you as a Christian, Muslim, Buddhist or whatever, tapi ya gak
juga lalu agama jadi dasar utama bagaimana kita memperlakukan orang lain, apalagi
sampai menimbulkan suudzon.
Obrolan mengenai agama sering
tercetus ketika berkumpul dengan teman-teman dekat. Gak lama, saya juga
membahas ini bersama teman-teman. Waktu itu temanya adalah berdoa dan perbuatan
baik. Menurut teman saya yang satu, sebut saja si A, perbuatan baik itu lebih
penting daripada manusia selalu berdoa tapi kelakuan minus, memang sih banyak
contoh (termasuk di lingkungan terdekat saya) bagaimana seseorang yang katanya mempunyai
iman besar ternyata masih bisa-bisa nya jahatin orang lain. Lalu, teman B
berpendapat bahwa doa itu juga penting, idealnya dua2nya jalan bersamaan, doa
jalan perbuatan baik juga jalan. Menurutnya, beribadah itu seperti recharge
dengan Tuhan, Tuhan itu tidak butuh manusia menyembahNya, tetapi yang
sebetulnya butuh adalah manusianya itu sendiri. Manusia butuh pegangan, manusia
butuh kendali.
Setelah itu, giliran saya yang
berpendapat, jujur saya sendiri lebih sependapat dengan Teman A. Saya itu bukan
orang yang religius, doa saya bolong-bolong, dan ketika saya tidak ingin pergi
ke tempat ibadah kenapa juga saya harus pergi ke sana. Doa di rumah dengan
khusyuk itu jauh lebih meaning daripada doa di tempat ibadah tapi pikiran
kemana-mana dan gak konsen. Doa dan ibadah itu urusan personal antara saya
dengan Tuhan, sedangkan perbuatan baik itu urusan antara saya dengan manusia
lain (yang dipercayai ciptaan Tuhan). Maka saya menganggap ketika saya berbuat
baik kepada orang lain, saya juga menghargai Tuhan. So, saya mengedepankan
untuk mengamalkan iman dalam bentuk perbuatan dibanding doa.
Tetapi, pendapat B juga tidak
salah, di sini tidak ada yang mana yang benar mana yang salah. Mengutip kata
dosen pembimbing, agama itu based on personality. Coba pikir, koq bisa manusia
itu terkelompok ke dalam agama ini dan itu, kalau ditanya kenapa menganut agama
X? Mungkin kebanyakan akan menjawab ya karena keluarga saya agamanya ini, tapi akan
ada yang menjawab karena saya merasa nyaman. Kenapa merasa nyaman? Karena
kepercayaan ini cocok dengan personality nya. Kalau Teman B merasa inilah yang
terbaik untuk saya untuk rajin beribadah dan berbuat baik, itu baik untuk dia.
Lalu ketika Teman A dan saya lebih pas untuk mengedepankan amal perbuatan
dibandingkan koar-koar berdoa, kan ini juga yang terbaik buat kami. So, tidak ada
yang lebih benar dan lebih salah dalam hal ini. Sah-sah saja kalau manusia
punya manifestasi iman yang berbeda. Gak usah terlalu chauvinis.
Pembicaraan lain yang menggelitik
adalah soal surga dan neraka. Teman B percaya bahwa setiap orang itu harus percaya
dengan satu Tuhan – sebut saja namanya Tuhan X, empunya agama X. Karena dengan
percaya dengan Tuhan yang satu ini maka kita semua akan masuk surga. Teman A
waktu itu tidak terlalu banyak berpendapat, jadi topik ini bahasan saya dengan
Teman B. Lalu, saya bilang, saya percaya dengan kehidupan lain setelah kita
semua mati, tapi untuk membagi manusia mana masuk surga dan mana masuk neraka
itu terlalu distinctive. Faktanya tidak ada manusia yang benar-benar baik, dan
tidak ada manusia yang benar-benar jahat. Dan kalau ada yang bilang untuk masuk
surga, khayangan, lahir baru, apapun itu sebutannya harus melalui jalan
tertentu semisal harus menganut agama X, munafik banget menurut saya, secara
tidak langsung menyalahkan agama atau kepercayaan yang lain. Dan ini sih yang
membuat gawat, orang jadi menyalahkan satu sama lain hanya karena kepercayaan
dia beda dengan kita, Tuhan dia beda dengan Tuhan kita.
Tema masuk surga ini juga
ternyata muncul di sebuah buku yang kemarin saya baca, judulnya Titik Nol by
Agustinus Wibowo. Di situ dimunculkan pergolakan batin Ibu penulis ketika
hendak meninggal dunia. Orang sekitarnya saling memaksakan agama mereka
masing-masing untuk dianut si Ibu sebelum ajal menjemput, bikin geleng-geleng
kepala kan, di saat yang genting masih ya mikirin agama apa, tidak bisa ya
merelakan dia pergi dengan tenang dengan kepercayaannya sendiri. Perihal
upacara kematian, sebenarnya kalau tidak ada request tertentu dari yang
meninggal, mau jadi upacara agama apapun juga tidak kenapa-napa karena
esensinya sama yaitu penghormatan terakhir bagi yang meninggal dunia.
Dulu ketika Nenek saya meninggal,
seumur hidupnya Nenek saya itu berdoa dengan cara Konghucu. Karena meninggalnya
dadakan, jadi beliau tidak request mau diupacarakan dengan cara apa. Jadilah
karena kebanyakan dari anak-anaknya beragama kristiani Nenek dikuburkan dengan
cara kristiani. Apakah lalu Nenek masih bergentayangan menyalahkan
keturunan-keturunannya sambil berbicara ‘kenapa kalian membuat acara pemakaman
kristiani, saya kan Konghucu?’ Kan nggak gitu. Kadang yang bikin ribet adalah
orang-orang yang ditinggalkan, takut apakah sanak saudara atau teman kita itu
akan masuk surga apa tidak.
Hehehe.. Posting hari ini
kayaknya rada kontroversial yah. Terkadang berbicara soal agama di republik ini
bisa menjadi sangat berbahaya, orang-orang rupanya punya fanatisme berlebihan
terhadap Tuhannya sampai lupa bahwa agama itu adalah cabang-cabang jalan menuju
keselamatan dan perdamaian. Yesus, Muhammad, Buddha Maitreya, Sang Hyang Widhi,
Yahwe, dan Tuhan-Tuhan yang lain tidak pernah mengajarkan kita untuk menjadi
manusia yang jahat. Kecuali kalau iman kita ternyata sudah berbagi dengan Tuhan
yang satu lagi bernama Uang, wah ini akan menjadi pembahasan yang lain
hehehehe.. Bye!
Comments