Manusia Sedang-Sedang Saja
Saya itu orangnya rata-rata
banget. Saya belum pernah jadi expert, tapi bukan berarti juga apa yang saya
kuasai terlalu dasar, pokoknya di tengah-tengah. Kemampuan kognitif saya juga
rata-rata, meski tidak pernah tau IQ saya berapa, tapi saya jamin IQ saya tidak
lebih dari 110, seperti 90% manusia lainnya. Gak tau, bawaan anak tengah atau
gimana. Sekian puluh tahun hidup, saya belum pernah sih being expertise,
kayaknya skill saya itu moderate banget. Sedang-sedang saja. Contohnya, saya
bisa main gitar tapi gak terus jadi gitaris yang menang lomba berturut-turut
atau manggung sana-sini, saya bisa kendo tapi saya juga tidak jadi yang paling
keren di dojo, saya bisa gambar tapi gambar saya standar aja loh, banyak yang
bilang lucu, tapi lebih banyak yang lebih lucu. Nah lho! Jadi sebenarnya saya
ini gimana sih?
Begitu tengah-tengahnya kemampuan
saya juga terlihat dari nilai saya selama mengecap bangku sekolah. Dari TK
sampai dengan kuliah, saya bukanlah anak yang paling pintar di kelas, tapi saya
juga ga ketinggalan banget. Ranking saya waktu jaman sekolah juga gitu-gitu
aja, masuk 10 besar tapi mentok gak bisa top 5. Pernah sekali ranking 2 waktu
SMP kelas 3, tapi tidak terlalu istimewa karena nilai saya dengan yang ranking
1 jaraknya jauh banget. SMA gak ada ranking2an, tapi ada kejadian lucu ketika
kenaikan kelas 2 SMA dan penjurusan. Karena nilai rapot saya kebanyakan nilai
7, guru saya nanya ke Papa, Puji mau masuk IPA atau IPS, saya bingung dan
memilih opsi mudah saja lah. Saya pilih masuk IPS karena di IPA malas bertemu
Fisika. Ternyata di IPS saya babak belur dengan ekonomi dan akuntansi
hahahahaha.. Saya bingung sebenarnya saya ini bisa apa. Masuk kuliah,
kebanyakan nilai saya B, iya nilai B, menyebalkan, mana di kampus saya tidak
ada nilai B plus atau B minus, jadi ya sudah lah makan itu B bulat, bikin
transkrip nilai saya juga ‘rata-rata’.
Karena kerata-rataan saya ini,
saya sejujurnya bingung menghadapi kehidupan selanjutnya. Pertanyaan ‘mau apa?’
‘mau dibawa kemana?’ itu seperti nightmare tersendiri. Senang untuk teman-teman
yang mengetahui kemanakah hidupnya ini akan berlabuh (happ ciehhhhh..), punya
target di depan mata yang kelap-kelip dan terang. Lha saya? Hmmmm.. Untuk
memilih mau ngapain aja, jadi dilematis. Seperti contohnya begini yang paling
gampang, mau bekerja dimana? Pilihan saya banyak, toh jadi apa saja saya
bisa-bisa aja, karena prinsipnya belajar, dibilang suka yang mana, banyak juga
yang saya sukai, jadi mau jadi HRD, mau jadi social worker, mau jadi anak marketing,
atau apapun – saya pasti excited belajarnya. Saya itu orang nya bosenan, jadi
kalau terlalu lama dalam suatu pekerjaan kayaknya ga banget juga deh, saya
kadang mikir apa saya itu kutu loncat ya, tipe yang anget-anget tai ayam, tapi
gak juga buktinya kata ‘bosan’ tidak serta merta membuat saya tidak fokus, saya
hanya butuh selingan laen aja supaya bisa keep on the track. Saya termasuk yang
komit mengerjakan sesuatu yang saya geluti.
Orangtua saya juga kadang bingung
sendiri dengan saya. Karena mereka juga bukan yang tipe menggiring masa depan
anak, mereka sangat liberal, hmmm.. mungkin lebih tepatnya tidak terbiasa
memperhatikan anak jadi ya diserahkan ke anaknya saja mau bagaimana. Nah, dari
kira-kira sebulan yang lalu, orangtua saya mulailah pedekate, dan mulai
mengutarakan ide-ide mereka mengenai masa depan saya. Dimulai dari Mama saya,
beliau cerita tentang toko dan berbagai hal tentang menyenangkannya berdagang,
di tengah pembicaraan disisipi pesan-pesan sponsor agar saya mau untuk
meneruskan usaha keluarga. Mengenai ide berdagang – it is not a bad idea
actually, saya tertarik juga dengan bisnis tapi melihat segala macam
permasalahan yang Mama Papa alami, ditambah kalau saya meneruskan usaha ini
lalu saya akan terkungkung di kampung halaman dengan rutinitas yang
begitu-begitu saja, saya hopeless menjadi orang yang berguna untuk masyarakat.
Ditambah trauma masa lalu, toko yang meski menjadi topangan hidup kami tetapi
juga membuat orangtua saya jadi kurang perhatian. Apakah lalu saya harus
mengulang ritme keluarga yang sama? Apalagi saya juga kurang kompak dengan Mama
Papa, bisa-bisa setiap hari bertengkar.
Sehabis Mama, datanglah Papa saya
punya ide bagaimana kalau saya menulis untuk surat kabar. Berhubung menurut dia
saya memiliki kemampuan merangkai kata-kata yang cukup baik. Dibalik alasan
ini, perlu diketahui, Papa saya itu Bapak-Bapak pembaca koran sejati, dia juga
memiliki interest pada dunia sosial politik yang sangat besar, maklum dulu
kuliahnya di fakultas hukum. Mendukung saya untuk menjadi penulis berita,
wartawan, atau orang yang berkecimpung di dunia politik itu cukup keren
sebenarnya. Tapi apalah dayaku dengan otak pas-pasan begini, baca beritapun
pilih-pilih dan cenderung cuek dengan apa yang terjadi di negara ini, tidak
cukup membuat niat untuk menjadi penulis berita itu muncul. Papa memang benar
bahwa saya suka menulis, tapi apakah saya sanggup menulis untuk berita, fakta,
opini kritis, resensi, atau apa saja lah itu yang ada di koran. Malah pikir
saya, saya cocoknya menulis untuk tabloid gosip atu majalah anak-anak. Hehehe..
Atau ya sudahlah menulis blog saja. Opsi menulis ini baik, walaupun obyek
tulisannya kurang tepat. Saya lebih mempertimbangkan hal ini dibandingkan ide
Mama saya untuk berdagang.
Ya, masih bingung juga si mau
apa. Ngobrol dengan teman-teman sebaya, mereka mendukung saya untuk tetap
lanjut menulis dimanapun itu. Mereka juga percaya jika saya menjalankan bisnis,
pasti akan jalan melihat saya juga tidak buta-buta amat di dunia dagang dan
marketing. Hahahaaa coba gimanaaa.. Saking rata-ratanya saya, orang-orang di
sekitar pun jadi bingung. Masih mikir nih ya. Satu-satunya yang saya ingini sih
mau jadi turis saja lah, hahahaha.. Kalau yang ini semua orang juga pasti mau.
Comments