What Makes A Man A Man

Judul posting malam hari ini mengutip dari lagu boyband favorit saya jaman SD, Westlife. Malam ini memang agak sedikit bernostalgia, hahaha.. Saya baru nyadar juga kalau Westlife itu so yesterday tapi lagunya tetap ngena sampai dengan sekarang. Posting ini juga hasil dari refleksi saya terhadap topik-topik percintaan yang entah bagaimana ceritanya sedang sering sekali menghinggapi hidup saya belakangan ini, tapi yang herannya kenapa Kokoh-Kokoh idaman itu tidak kunjung datang wkakakkaka.. (mulai curhat deh..) Ketika mengobrol dengan teman-teman dekat saya yang perempuan dan (kebetulan) jomblo, topik yang diangkat adalah pria macam apa sih yang kelak pantas menjadi belahan jiwa kita?

Sebelum menjawab pertanyaan penuh modus ini, mungkin terlebih dahulu bisa kita free-listing - menurut kita pria dalam kategori idaman itu seperti apa? Jawabannya pasti sangat bervariasi, mulai dari yang obvious banget kayak badannya kotak2, ganteng kayak artis Korea, kulitnya putih biar memperbaiki keturunan, sampai ke kriteria standar ala-ala lowongan kerjaan – jujur, berdedikasi, bisa kerja dengan penuh tekanan hahahaha.. Lainnya ya seperti cinta keluarga, pengertian, punya pekerjaan tetap, seiman, satu suku, memegang teguh Pancasila, or whatever. Dari sejuta karakteristik calon suami itu, ada garis tegas yang diperjelas oleh peran gender masyarakat patriarki pada umumnya bahwa pria itu harus mapan dan dominan sehingga bisa menjadi bread winner di keluarga.

Saya sendiri sejujurnya agak bingung jika harus menjabarkan kriteria pria, mungkin ini karena di keluarga saya peran Papa saya rada kurang keliatan gitu, agak bias ketutupan sama Mama. I have no role model and I get no idea. Tapi thanks to teman-teman dan internet, sedikit demi sedikit saya bisa meraba juga, sebaiknya kita mencari ‘the one’ yang seperti apa sih. Dan tidak bisa dipungkiri, kriteria saya juga tidak jauh beda dari teman-teman sesama ciwi lainnya, berharap bahwa Kokoh-Kokoh idaman yang akan datang di kemudian hari itu adalah seseorang yang mapan dan memiliki kepribadian pemimpin sehingga bisa menjadi kepala keluarga / panutan yang baik. Tapi apakah hal ini cukup makes a man a man? Ada tiga hal lagi yang menurut saya penting juga, bahwa saya tidak mau punya suami yang kasar (fisik/verbal), kecentilan (ada kecenderungan berselingkuh), dan memiliki kebiasaan yang merugikan diri sendiri seperti merokok, narkobaan, atau berjudi.

Saya sangat toleran dengan ciri fisik, seorang pria tidak harus memiliki badan yang berotot dan fitness untuk being a real man. Maskulinitas itu bisa kok keliatan dari sikap dan perilaku dia memperlakukan wanita. Ga kudu jago berantem atau menguasai jurus tapak suci juga, cukup dengan dia punya prinsip and bisa membuat keputusan, owwww that’s my man! Ganteng? Relatif banget, kalau gantengnya dari dalam justru makin bagus. Ada penelitian yang bilang kalau ingin punya anak yang pintar maka cari istri yang pintar, kalau ingin punya anak yang cakep/cantik maka carilah suami ganteng, hahaha.. Saya gak tau bener apa gak, tapi saya berprinsip bahwa didikan dan lingkungan sosial itu ngaruh banget pada kepribadian, kecerdasan, dan penampilan seseorang. World actually can deceive genes.

Demikianlah kriteria suami idaman menurut kesotoyan saya saat ini, apakah nanti bisa berubah? Bisa saja, semakin dewasa (baca: tua)  akan semakin menemukan lagi hal-hal baru yang mungkin akan mengubah perspective saya dalam menilai pasangan hidup.  Bisa tambah ribet atau justru makin melunak. Who knows. But, ada satu hal yang penting, apa pun kriterianya perlu diingat bahwa seseorang itu tidak akan datang ketika kita tidak berusaha, jadi kalau ingin menemukan Sang Pangeran Idaman jangan cuma duduk-duduk atu leha-leha aja, lagian mana ada sih pria yang pengen punya calon istri pemalas, mereka juga punya kriteria - what makes a woman a woman.

Comments