Musim Putus Cinta

Selamat siang menjelang sore! Senang akhirnya bisa menulis blog kembali, setelah berpuluh-puluh hari blog ini terbengkalai, tak terurus tergerus dimakan jaman (mulai lebay). Sore-sore gini mungkin lebih enak ya bercerita tentang apa yang terjadi pada hidup saya akhir-akhir ini, masih nyambung dengan posting blog kemarin-kemarin masih suka sekali membicarakan soal yang namanya cinta. Ada apalagi nih dengan topik ini? Jadi 3 minggu belakangan entah bagaimana ceritanya saya sedang menjadi sasaran curhat beberapa teman yang putus cinta. Saya sendiri bukan orang yang berpengalaman dalam hal kisah-kasih, sehingga saya merasa kalau saya itu hanya bisa mendengarkan tetapi tidak dapat memberikan solusi yang jitu. Syukurnya tujuan ketiga teman yang bercerita untuk didengarkan tapi tidak lantas menuntut penyelesaian yang super solutif.

Saya tidak akan tuliskan secara lengkap cerita ketiga teman saya ini, ya pada intinya sih, saya menangkap garis merah dari ketiga kasus tersebut yaitu kebutuhan antar individu di hubungan itu sedang tidak bertemu. Kalau dulu masih ketemu/ada/sama, dan masih bisa disambung-sambungin, sekarang sudah tidak bisa lagi. Contohnya teman saya yang pertama, sebut saja namanya Hanhan, pria berusia seperempat abad ini sudah pacaran kurang lebih 2 tahun dengan pacarnya yang bernama Yaya. Hanhan ini apabila dibandingkan dengan teman-temannya yang seumuran bisa dibilang dia belum cukup mapan secara finansial, sementara pacarnya terdesak oleh keluarga serta lingkungan sosialnya untuk segera melepas masa lajang. Hanhan tidak siap, Yaya pun terhimpit kanan kiri tidak bisa menunggu Hanhan lagi. Ya sudah diputuslah Hanhan. Keliatan kan bahwa ada kebutuhan yang tidak terpenuhi ketika masing-masing bersama?

Cerita lain adalah teman saya yang bernama Nana jadian dengan pacarnya yang berondong lebih muda dua tahun, masih kuliah statusnya di semester akhir dan katanya si pacar akan melanjutkan kuliah master ke Jepang dan kalau mereka masih berpacaran akan membuat sang pacar terbebani. Dua orang yang jadian karena cinlok ini, akhirnya putus. Posisi Nana yang diputus oleh pasangannya, alasan singkatnya tidak bisa LDR. Hmmm.. Nah ga ketemu juga kan kebutuhannya? Si pacar butuh seseorang yang mendampingi secara nyata, tapi Nana gak bisa. Cerita dari teman ketiga, dibumbui drama beda keyakinan dan beda suku, yang kalau ini sudah jelas sekali lha ya kebutuhan apa yang tidak terpenuhi.

Kenapa bisa mereka baru menyadari kebutuhannya tidak terpenuhi setelah sekian lama menjalin relasi romantis? Ada dua hal yang bisa saya tangkap, yang pertama bisa jadi ketika awal memutuskan pacaran belum menyadari sampai sejauh itu. Kedua, bisa jadi muncul kebutuhan baru selama proses kehidupan, yang dahulu tidak ada lalu sekarang menjadi ada. Bagaimana solusinya? Ya memang mudah sekali untuk mengatakan solusinya, yaitu bernegosiasi. Ibarat bisnis saja, maunya kita juga sama-sama menguntungkan simbiosis mutualisme, kalau memang nyatanya masing-masing kebutuhan tetap tidak terpenuhi jalan keluarnya memang hanya satu ‘yuk kita jalan sendiri-sendiri saja’. Mudah memang mengatakan hal ini, namun pada kenyataannya susah dijalani karena urusan pacaran itu bukan seperti urusan bisnis yang memakai logika semata. Karena baper (bawa perasaan) lantas semua jadi serba salah. Di satu sisi ingin tetap bersama, tapi di sisi lain tidak mampu memenuhi kebutuhan si pasangan.

Buat orang seperti saya, yang dalam ini korban curhatan, saya hanya bisa membantu menata pikiran teman-teman saya yang putus cinta karena mereka kalut, meluruskan lagi sebenarnya apa yang terjadi. Saya baru sadar juga karena kasus-kasus ini, bahwa orang putus cinta memang luar biasa acak-acakan jalan pemikirannya. Harapan saya dengan pikiran yang lebih tertata kemudian bisa ditemukan jalan keluar yang terbaik. Satu hal lain yang juga saya lihat, orang putus cinta apalagi sebagai orang yang diputusin menginginkan solusi ‘balikan lagi’, hal ini yang kadang bikin saya jengkel, okay love is blind, padahal sudah jelas-jelas tersakiti eh masih aja menginginkan second chance.

Putus cinta itu memang berat, saya juga pernah putus cinta, awalny pasti tidak terima, itu pasti. Lalu mendadak kita jadi orang yang perhitungan, flashback mengenai hal-hal yang pernah kita berikan ke pasangan, njuk jadi manusia yang tidak ikhlas. Sepertinya tahapan ini memang pasti ada di setiap kasus putus cinta, saya juga tidak bisa langsung menyalahkan sikap tersebut. Untuk menerima suatu hal, memang dibutuhkan masa dimana kita benar-benar menolaknya. Lambat laun, lalu kita sendirilah yang akan menyadari bahwa sikap terbaik sekarang adalah menerima kenyataan dan moving on. Saya mengapresiasi sekali beberapa teman yang memutuskan untuk bercerita ke teman lain, tidak menyimpan kesakitannya sendiri, karena dengan begitu setidaknya beban mereka tidak dipanggul sendiri.

Hihihi.. Menyambung judul dari artikel ini yaitu musim putus cinta, saya gak tau apakah teman-teman yang lain juga jadi korban curhatan apa tidak. Ada baiknya juga loh jadi sasaran curhat, saya sendiri bisa introspeksi dan mengambil hikmah dari setiap masalah teman. Selain itu hitung-hitung belajar menjadi konselor yang baik. Hohoho.. Plis, semoga minggu depan cerita-ceritanya bisa membahagiakan yaaaa..

Comments