Hati Saya Tertinggal di Museum
Pertama kali saya menginjakkan
kaki di kota Yogyakarta, saya tidak pernah mengira akan menemukan banyak sekali
museum di kota pelajar ini. Kecintaan saya terhadap museum sebenarnya terjadi
karena tidak sengaja. Sekitar 7 tahun yang lalu, diawali dari kunjungan saya ke
Museum Monumen Jogja Kembali di tahun 2008, sebulan setelah saya berstatus
mahasiswa Jogja, hal ini terjadi karena saya salah rute menaiki Bus Trans
Jogja.
Jangan membayangkan Museum Jogja
Kembali waktu itu begitu ramai seperti sekarang. Pada tahun 2008, Museum Monjali
sepi dan terkesan angker. Mengingat jaman itu juga tidak ada smartphone, ya
kalau mau tau harus cek sendiri ke dalam ada apa. Memasuki Monjali seperti
dibawa ke jaman pra-kemerdekaan. Saya kagum juga dengan tembok rana yang berisi
nama-nama pahlawan dan puisi ‘Karawang-Bekasi’ ciptaan Khairil Anwar. Baru di
situ saja saya merinding, wiihhh berasanya rasa nasionalis bertambah nih. Saya lanjutkan
perjalanan ke bagian dalam Monjali yang gelep-gelep ser, bikin jantung
deg-degan. Habis melihat pameran di lantai dasar, lalu saya ke atas lihat
diorama yang besar-besar. Gak lupa juga ke lantai paling atas yang membuat saya
kagum dengan relief tangan raksasa.
Pulang dari Monjali, saya jadi
penasaran dengan museum-museum lain yang ada di Jogja. Perjalanan itu masih
berlanjut sampai dengan sekarang. Saya sudah mengunjungi museum-museum di Jogja
mulai dari yang besar dan terkenal seperti Museum Ullen Sentalu, Museum Affandi,
sampai museum kecil yang lokasinya agak nyempil-nyempil masuk gang seperti
Museum Anak Kolong Tangga, Museum Batik, dan Museum Bahari. Penjelajah Museum?
Yaaaa bisa dibilang begitu, karena kegemaran saya mengunjungi museum di Kota
Jogja, ketika saya mengunjungi kota atau negara lain saya juga sangat suka
mengunjungi museum.
Selama sekian tahun berkali-kali
mengunjungi museum di Kota Jogja, beberapa museum saya kunjungi lebih dari satu
kali malah ada yang sampai 5 kali karena mengantar teman/saudara dari luar kota,
saya merasakan bahwa perkembangan museum di Kota Jogja semakin baik. Saya agak
terharu juga ketika kembali mengunjungi Museum Monjali di tahun 2014 dan
melihat bahwa museum ini sekarang tidak lagi dicuekkin dan terbengkalai. Museum
yang lain juga makin keren-keren.
Stigma ‘jadul’ pada museum kini
bisa sedikit demi sedikit luruh dengan integrasi antara museum dan teknologi
informasi. Sekarang semua orang memiliki akses informasi yang tidak terbatas. Saya berharap museum bisa mengikuti
perkembangan ini dengan mendekatkan diri terhadap teknologi. Selain itu, soal
pengelolaan museum, saya senang banyak museum masa kini sudah visitor-oriented,
makin membuat nyaman pengunjung, tidak hanya asal tempel pajang saja jadi, tapi
sudah berpikir bagaimana caranya agar pengunjung dapat memahami apa yang dipamerkan
oleh museum tersebut.
naik ke puncak gunung demi Ullen Sentalu
Terakhir yang tidak kalah penting adalah soal publikasi, museum itu layaknya public place lain yang membutuhkan eksistensi, jadi saya kira publikasi museum bukan hanya pada acara-acara/hari-hari besar saja tetapi diadakan reguler terjadwal setiap waktu, misalnya dengan mengadakan kunjungan ke sekolah/kampus, tempat-tempat nongkrong, acara-acara sosial seperti seminar/bazaar. Saya pernah dengar ungkapan semakin baik museum di sebuah kota semakin tinggi pula kepedulian masyarakat kota tersebut terhadap budayanya. Bagaimana dengan Kota Jogja? Yap, kita sedang berada pada jalur menuju ke sana. Saya harap ke depannya, makin banyak orang-orang yang hatinya tertinggal di museum. Oopss..
Comments