AirAsia Flew You Into A Hope
Pesawat Air Asia di Bandara Adi Sutjipto
Pagi hari ketika masih buta..
Kos masih dalam keadaan sepi gelap gulita, tengok-tengok ke jam weker
di meja belajar ternyata jam menunjukkan jam tiga pagi. Oh my God! Ngapain lagi
saya ini bangun pagi-pagi banget. “Kebiasaan!”
jawab saya dalam hati. Kalau orang lain punya kebiasaan tidur malam atau
begadang dan susah bangun, tidak dengan saya. Saya malah entah kenapa sering
sekali bangun kepagian, okay, disyukuri saja, karena banyak orang lain yang
tidak bisa bangun pagi. Kalau sudah subuh-subuh bangun dan tidak jelas
tujuannya, saya selalu menghabiskan waktu dengan membaca majalah travel dan buka
website travel. Saya selalu semangat, ketika membaca kisah-kisah liburan orang
lain. Saya penggemar dari cerita-cerita Om Agustinus Wibowo, Tante Trinity, Om
Yunaidi Joepoet, Tante Margareta Astaman, Tante Windy Ariestanty, dan
lain-lain. Rasanya ketika membaca tulisan mereka mengenai ‘traveling’ saya seperti
ikut diajak jalan-jalan.
Karena kebiasaan bangun kepagian, saya jadi suka bahan bacaan yang
menyangkut travel, kultur, dan sosbud. Namun, keinginan untuk pergi menjelajahi
negara lain atau daerah-daerah eksotis selalu pupus ketika mulai berpikir
tentang ‘biaya’. Yap, biaya. Rasanya kata ‘biaya’ inilah yang selalu bikin
jiper orang-orang untuk pergi melakukan perjalanan atau liburan. Bayar kuliah
saja sudah berat, makan sehari-hari juga sudah mahal, masih mau liburan? Namun
pemikiran itu, sedikit demi sedikit tertepis ketika pada tahun tahun 2000-an
akhir oleh perintis maskapai penerbangan low-cost
bernama AirAsia. Jaman saya SMA dan awal kuliah, AirAsia seperti kata ajaib
yang mematahkan premis ‘liburan itu mahal’. Air Asia memberikan harapan kepada
banyak orang untuk get a life, let’s take
a break, go on voyage now, no worry about the cost!
Pesawat Air Asia & Gunung Merapi
Seringnya saya mendengar kabar tentang AirAsia, lama-lama saya
tergelitik juga untuk mengadakan sebuah escape trip kecil-kecilan. Waktu itu
tahun 2011, saya dan kedua teman bikin perjalanan nekad. Negara tujuan? Tidak
jauh, hanya ke Singapura. Waktu itu saya baru sekali ke luar negeri, dan jika berhasil,
trip nekad ini akan menjadi kali kedua saya pergi ke luar negeri. Saya waktu
itu agak ngeri juga, karena kedua teman saya ini belum pernah pergi ke luar
negeri, dan bahkan belum pernah naik pesawat. Belum lagi kami ini hanya
mahasiswa biasa tanpa pekerjaan sampingan, jadi ga punya penghasilan. Untuk
biaya dan lain-lain minta orangtua? Well,
rasanya tidak pantas lha kita menuntut orangtua terlalu banyak, apalagi untuk
membiayai sesuatu yang sifatnya tersier.
Terminal 1 Changi Airport, finally!
Bertiga di Bugis Street
Kami bertiga berpikir keras, bagaimana caranya untuk bisa pergi tapi
gak ngabisin banyak uang? Waktu itu saya ingat sekali dengan AirAsia “Kita naik pesawatnya AirAsia aja” browsing punya browsing memang tiket AirAsia yang paling affordable buat kami. Saya yang belum pernah booking-booking tiket pesawat via online merasa sangat terbantu ketika itu, karena website AirAsia yang user friendly.
Prosesnya pun tidak berbelit-belit. Waktu itu ketika mengetahui bahwa mungkin
sekali pergi ke luar negri dengan biaya yang murah, kami merancang gimana
caranya untuk mencari uang agar bisa membayar kepergian kami bertiga ke negara
merlion. Waktu itu, kami mendadak menjadi toko fotokopian berjalan di kampus –
kalau ada teman yang butuh buku kami bisa menyediakan jadi mereka tidak
pusing-pusing repot, kami seminggu lima kali jualan makanan (jajanan pasar) di
kampus, lalu akhir minggu mengumpulkan barang bekas seperti kertas dan botol
supaya bisa dijual kembali. Di sela-sela kuliah, kami jualan kaos dan totebag. Tidak lupa tiap minggu juga
kami urunan @10.000. Hal itu kami lakukan dalam jangka waktu 1 semester. Semua
keuntungan dari berjualan tersebut pada akhirnya bisa membiayai kami liburan ke
Singapura.
Rasanya puas sekali bisa pergi dengan usaha sendiri, orangtua juga
bisa bangga karena hal ini. Dan yang pasti entah kenapa setelah kepergian kami
lalu banyak teman-teman yang juga jadi bersemangat untuk melakukan aksi
perjalanan nekad ala backpacker.
Mereka tidak jarang bertanya soal maskapai penerbangan apa yang dipakai, lalu
saya bisa dengan mantap merekomendasikan AirAsia. Hingga kini pun, apabila saya
bepergian saya tetap memakai AirAsia, kesan pertama di tahun 2011 sangat membekas.
Ketika melihat tagline AirAsia ‘Now
everyone can fly’, saya berefleksi bahwa ya memang benar AirAsia membuat
banyak orang punya harapan untuk bisa menikmati naik pesawat terbang yang dulu
kesempatan itu hanya dimiliki oleh kalangan atas, dan bahkan AirAsia juga bisa membuka
seluruh lapisan masyarakat untuk liburan kemana-mana tanpa harus takut jatuh
miskin seusai perjalanan berakhir.
Pesawat Air Asia ketika mau pulang ke Yogyakarta
Kwecky ikut narsis
Apakah AirAsia mengubah hidup saya? Tentu saja, bahkan bukan hanya
saya saja, tapi banyak orang di dunia. AirAsia memberi harapan dan kepercayaan
diri bagi para traveler baik tua, muda, wanita, pria, mapan, belum mapan. Air
Asia membukakan pintu ke dunia luar dengan lebih lebar. Mengajak orang-orang
untuk bisa saling berkunjung satu sama lain tanpa ada keterbatasan, this is one step ahead, semangat yang
tidak dimiliki oleh maskapai lainnya. Dan saya bangga bisa menjadi salah satu
pelanggan setia AirAsia. AirAsia bukan hanya mengajak Anda terbang ke tempat
tujuan, tapi mereka menerbangkan Anda menuju harapan.
Comments