Bataviasche Studenten

Tidak terasa, setelah sekian bulan bersibuk-sibuk ria demi kelanjutan sekolah si Ndut (adik saya.red). Keringat bercucuran, pikiran terbelah, plus tenaga bolak-balik bank, ATM, tukang pulsa, kantor pos, dan kampus lain. Pake tambahan dramatisasi emosi se-keluarga. Akhirnya Ndut menemukan juga ‘jodoh’nya. Berita bahagia ini sebenarnya sudah kami terima sejak akhir Juni lalu. Adik saya akhirnya memutuskan untuk melanjutkan sekolah tingginya di Ibu Kota. *leganya hati ini*

Kalo melihat ke belakang, perjuangan mencari si kampus ini memang agak heboh. Dimulai dari keinginan kedua orang tua dan adik saya sendiri juga untuk bisa mengejar sebuah universitas di Bandung, yang merupakan almamater dari Kakak saya juga. Dua kali mencoba tes, sudah pake acara ikut bimbingan belajar segala (adik saya sempat tinggal di Bandung selama 1 bulan, keren banget kan dy..), tapi tidak diterima. Terlepas dari alasan mengapa adik saya tidak keterima, saya lebih suka menganggap hal ini sebagai ‘bukan jodohnya’.

Ndut sempat down, ya iya lha ya, gimana gak down. Ketika hampir semua teman-teman SMA nya sudah punya pegangan universitas, Ndut belum punya. Saya, yang notabene bukan yang menjalaninya juga panik setengah mati. Kakak dan orangtua saya juga. Demi ketenangan batin kami semua (menurut saya, bukan hanya untuk Ndut saja), kami cari alternatif sekolah lain yang lebih mudah untuk masuk alias slot mahasiswa nya masih banyak dan yang pasti tes nya gak suseh-suseh amat. Jatuhlah pilihan pada salah satu universitas di Yogyakarta. Setelah ikut tes univ X ini dan (syukurnya) diterima, kami legaan. Berasanya itu, kalo kemarin suhunya 40 derajat Celcius, sekarang turun jadi 30 derajat Celcius.


Berhubung adik saya sebenarnya tidak ingin sekolah di Jogja (beda dengan saya waktu dulu yang ngotot sekolah ke Jogja, hehehehhe..), kakak saya dan saya juga tau soal ini. Lalu, kami daftarin dy juga ke dua univ. di kota pilihan terakhir, yaitu Jakarta. Kenapa jadi terakhir? Entah gimana, kami sekeluarga seperti punya mindset kalo Jakarta itu tidak kondusif sebagai tempat bersekolah. Well, bisa sih sekolah dan baik-baik saja, tapi untuk berkembang sepenuhnya (ikut kegiatan, bergaul dengan sehat, eksplorasi kehidupan, dll) rasanya sulit. Hidup mahasiswa bisa jadi hanya kampus-kos-mall. Itu pikiran pesimistis nya lho. Tapi, pemikiran optimis nya, karena Jakarta itu keras, kita bisa belajar life-survival lebih dari kota mana-pun. Hehehehehe..

Ndut memang pada dasarnya lebih milih kuliah di Jakarta daripada di Jogja. Alasan dy katanya biar sekalian tau Jakarta, soalnya nanti pas kerja kan bakalan ke Jakarta juga (yang saya tentang habis-habisan, saya kontra kalo kerjaan baik itu hanya bisa didapatkan di Jakarta). Bisa jadi mungkin ada alasan lain yang saya tidak tau. Seperti ketika saya memutuskan sekolah ke Jogja, karena saya sudah malas dibanding-bandingkan dengan Kakak saya, hahahahhaha.. Kalau harus satu kota, atau satu universitas dengannya, rasaanyyaaaa.. Beraaattt sekaliiii.. *confession*

Great. Di univ. yang di Jakarta itu Ndut diterima, dy senang, dan mau mengambil kesempatan tersebut. Diskusi dengan orangtua soal pendanaan mencapai kata sepakat, meskipun pake episode Mama saya uring-uringan mengingat biaya sekolah di Jakarta itu dahsyat sekali jumlah nol nya. Hehehehe.. Menengok ke biaya kuliah saya 5 tahun ini (iya, 5 tahun, sedih yaaa..) sama dengan total uang pangkal + biaya kuliah semester 1 adik saya. Haaaaaaaa.. Makanya dy sudah diwanti-wanti untuk selesai tepat waktu (lebih cepat lebih baik), jangan kebanyakan main kayak saya di sini. Hahahahahaha..

Senin besok ini (tanggal 12) adik saya mulai memasuki masa perkuliahan regular. Saya agak amaze juga dengar berita ini. Saya selalu menganggap Ndut sebagai si anak kelas 5 SD yang manjanya setengah mati. Eh, sekarang, dy udah kuliah aja. Status nya sekarang sama dengan saya (eh, beda donk, saya kan skripsi, hahahah.. XD). Mahasiswa. Si bungsu ini memulai petualangannya di Ibu Kota. Good Luck, Ndut.

best regards,
puji wijaya, waktu berjalan sangat cepat

Comments