Esc Day 2 part. 1 ; Bertemu Keluarga Petualang
15 November 2012, malam menjelang subuh
Sampai di Pelabuhan Ketapang, kami tidak menemukan kesulitan untuk masuk ke dalam dan membeli tiket kapal feri sebesar 6.000 rupiah untuk orang dewasa. Murah ya. Can’t wait ni saya naik kapal feri, maklum belum pernah, hehehhehehe.. Pelabuhan pada saat malam hari cantik, karena lampu remang-remang 5 watt dengan latar belakang kapal-kapal serta alunan desiran ombak *apaan si ni berasa lagu. Tapi, anginnya ga tahan deh, bikin masuk angin. Jalan di pelabuhan bersama dengan Rafi dan Devo pun menjadi penghiburan tersendiri. Anak-anak kan tidak jaim, jadi mereka loncat-loncat dan lari-lari saking senangnya lihat kapal dan pelabuhan yang sesungguhnya. Andai kata, saya se-umur mereka, ikutan deh saya putar-putar ala India di tengah pelabuhan yang sepi sunyi senyap ini (ialah, subuh gitu lho!).
Sampai di kapal feri, saya duduk kecapean, Nina-Tinna foto2 di dek kapal. Saya sempat foto2 juga si, tapi bentar doank. Ga kuat juga ni angin selat, gede jugeehhh.. Akhirnya, saya di dalam duduk dan ngobrol dengan si Ibu. Dari obrolan ini, saya tau kalo mereka se-keluarga ini dari Jakarta tidak dapat tiket pesawat jadi ke Bali naik kereta tapi salah strategi. Hwhwhhwhwhw.. Ibu cerita liburan ini dibuat jauh karena jarang-jarang Ibu & Bapak liburan bareng anak, kalau hari biasa yaaaa sibuk bekerja. So, liburan ini semacam kompensasi gitu. Terharu juga saya dengar cerita Ibu nya, jadi ingat orangtua di rumah.
Akhirnya sang mentari pun bersinar. Tandanya sudah pagi. Masih dengan kepala agak lieur2 gara2 ketindihan tas berkali-kali hahahahha.. Saya bangun dan tidak berapa lama kemudian sang kenek bus ribut2. Bus pun berhenti. Tinna, Nina, saya, Rafi – bingung. Udah sampe ya di terminal Denpasar. Lalu, dari kejauhan si Bapak, Ibu dan Devo tampak gelisah. Turunlah kami di Terminal Mengwi, bukan Terminal Ubung Denpasar yang dijanjikan di awal. Kata keneknya, dy tidak bisa mengantarkan sampai Terminal Ubung Denpasar, karena kalo diantar nanti angkot di terminal ini tidak laku. Oh God! Jadi2, terminal ini lokasi nya dimana? Masih di daerah Sangeh dekat Ubud sodara-sodara. Masih 1 jam dari Denpasar. Tak punya energi untuk ngomel2, akhirnya kami turun deh dari bus. Devo rewel lagi, karena tadi di bus ga bisa tidur dan capek.
Kereta Api Sri Tanjung, agak sepian setelah masuk perhentian terakhir.
Jadi, dengan jelas, saya tau siapa saja orang yang memang berencana mau
menyebrang ke Bali. Salah satunya, ada satu keluarga yang se-gerbong dengan
kami. Bapak-Ibu dan dua orang anaknya (cowo semua) yang masih kecil-kecil. Nah,
ternyataaaa.. Anak kecil gendut yang sering bolak-balik lavatory dan menarik
perhatian saya ketika perjalanan kereta dari Yogya ke Banyuwangi adalah anak
dari keluarga ini. Berhubung mereka heboh sekali, Bapaknya cari info ke
orang-orang, Ibunya sibuk diemin anak bungsunya yang nangis jejeritan, lalu si
anak sulung gemuk itu bawel berpendapat tentang stasiun Banyuwangi, jadilah mereka
sangat mencolok. Nina, Tinna, dan saya, langsung saja tau kalo mereka
kebingungan ke untuk menyebrang ke Bali dan kondisinya.. Sama dengan kami.
Lalu, kami merapat dan mengajak ngobrol mereka. Tinna, sebagai public
speaker kami bertiga, pedekate dan kami mendapat sinyal baik dari keluarga ini.
OK! Mari kita menjadi satu tim untuk sampai dengan selamat di Bali. Lalu,
bermula dari stasiun Banyuwangi inilah perjalanan kami bukan hanya bertiga
tetapi menjadi bertujuh. Saya juga jadi kenalan dengan anak-anak kecil
Bapak-Ibu, si sulung bernama Rafi (10 tahun) dan si bungsu yang bernama Devo (5
tahun). Mereka ini tingkahnya lucu. Sekilas saya menilai si Rafi ini orangnya
cuek, bossy dan santai beud sedangkan Devo pencemas dan manja. Bapak-Ibu nya
cukup ramah, mengajak ngobrol kami bertiga sepanjang perjalanan jalan kaki dari
stasiun ke pelabuhan (yang hanya berjalan 200m, bisa jalan kaki deh pokoknya,
jangan tergiur naik beca ato ojek).
Pelabuhan Ketapang akhirnyaaaa..
Sampai di Pelabuhan Ketapang, kami tidak menemukan kesulitan untuk masuk ke dalam dan membeli tiket kapal feri sebesar 6.000 rupiah untuk orang dewasa. Murah ya. Can’t wait ni saya naik kapal feri, maklum belum pernah, hehehhehehe.. Pelabuhan pada saat malam hari cantik, karena lampu remang-remang 5 watt dengan latar belakang kapal-kapal serta alunan desiran ombak *apaan si ni berasa lagu. Tapi, anginnya ga tahan deh, bikin masuk angin. Jalan di pelabuhan bersama dengan Rafi dan Devo pun menjadi penghiburan tersendiri. Anak-anak kan tidak jaim, jadi mereka loncat-loncat dan lari-lari saking senangnya lihat kapal dan pelabuhan yang sesungguhnya. Andai kata, saya se-umur mereka, ikutan deh saya putar-putar ala India di tengah pelabuhan yang sepi sunyi senyap ini (ialah, subuh gitu lho!).
Ada mesin tapping ala MRT gitu deeeee..
Sampai di kapal feri, saya duduk kecapean, Nina-Tinna foto2 di dek kapal. Saya sempat foto2 juga si, tapi bentar doank. Ga kuat juga ni angin selat, gede jugeehhh.. Akhirnya, saya di dalam duduk dan ngobrol dengan si Ibu. Dari obrolan ini, saya tau kalo mereka se-keluarga ini dari Jakarta tidak dapat tiket pesawat jadi ke Bali naik kereta tapi salah strategi. Hwhwhhwhwhw.. Ibu cerita liburan ini dibuat jauh karena jarang-jarang Ibu & Bapak liburan bareng anak, kalau hari biasa yaaaa sibuk bekerja. So, liburan ini semacam kompensasi gitu. Terharu juga saya dengar cerita Ibu nya, jadi ingat orangtua di rumah.
16 November 2012, subuh sampai pagi
Setengah jam berlalu, sampai juga di Gilimanuk. Waaaaa.. Bali-Bali!!!
Pengen hore-hore, tapi koq ga terlalu berasa ya ‘Bali’-nya. Trus, pas naik feri
tadi koq kurang asik ya, saya sih merasa, naik feri kayak cuma duduk diem doank
ni, ga kerasa jalannya, lagipula ternyata memang Banyuwangi & Pulau Bali
itu nyebrangnya seiprit banget, saya ngebayangin, kayaknya ni kalo berenang
juga bisa deh. Zona waktu pun berubah, lebih cepat 1 jam. Jadi sudah jam
setengah 1 subuh tanggal 16 November. Turun dari feri kami baru cari bus,
kenapa tidak naik bus ketika tadi di Banyuwangi? Karena desus punya desus,
kadang tarifnya jadi mahal dan kita suka dioper-oper gitu deh. Jadi mendingan
naik feri sendiri, bus sendiri gitu.
Berhubung kami tu rombongan bertujuh (borongan) banyak bus yang
nawarin kami buat naik. Nego punya nego, akhirnya kami dapat bus dengan tariff
25rb/orang. Bapak hebat juga ni nego nya. Senang sih dapat murah, tapi tak disangka,
ternyataaaa.. Ada harga ada barang, you know, tempat duduk kami di bus sangat
amat mengherankan kondisinya. Ibu, Bapak dan Devo duduk di depan, lalu Nina,
Tinna, Rafi dan saya kedapetan duduk di paling belakang. Sebenarnya hanya untuk
3 orang, tapi dipaksa untuk 4 orang. Untung, saya dan Tinna badannya kecil jadi
bisa nyempil. Tepat di samping Tinna duduklah seorang Bapak2 yang badannya agak
sumo. Makin kejempet lha kita. Mana di depan saya dan Tinna persis tempat
barang-barang ditumpuk-puk ga jelas. Di atas kepala kami juga ada tas-tas.
Bused deh..
Devo di sini lagi-lagi rewel, lalu tiap rewel, Ibu pasti bilang “Devo
ga boleh gitu ah, kan sudah janji ke Mami-Papi liburan ini petualangan”, “kalo
petualangan harus panas, sempit, capek, jadi ga boleh rewel”. Dan di sini lah,
saya tertegun, jarang-jarang lho ada orangtua yang ngajarin ‘hidup susah’ ke
anak kayak gini. Hwhwhwhhwhw.. Bused.. Anaknya yang masih kecil-kecil diajari
supaya menjadi tangguh. Daaannn.. Perjalanan kami berlanjut deh menaiki bus
acakadut dari Gilimanuk ke Denpasar. Horeeeeeeeeee..
Perjalanan tidak seindah perkiraan. Lagi-lagi realitas berbeda jauh
dengan ekspetasi. Niat hati ingin tidur cantik bak Cinderella, di dalam bus,
kami harus bergulat dengan tas yang berjatuhan, 5 kali deh kepala saya ketimpa
tas, kaki kesemutan, AC bus yang dinginnya kelewatan, sampai pada acara bus
mandet di jalan, gara-gara di depan ada truk yang ngeguling (kontur jalannya
memang bergelombang, naik-turun bukit gitu). Alhasil ada kayaknya kami nunggu
sekitar 1 jam. Orang paling santai se-dunia di antara kami memang hanya Rafi, dy
duduk di pojokkan dan kerjaannya hanya tidur, ganyem2 mulut, ngomel2 bentar,
tidur lagi deh. Astagaaa ni anak.. Enak banget. Lalu, dy jg duduk di sebelah
Nina, jadilah mantap empuknya tu si Nina jadi senderan tidur, Nina jg nyender2
ke Rafi. Mereka berdua cocok sudah deh jadi Ibu-anak. Sementara saya dan Tinna
masih banyak gangguan dimana-mana hwhwhhwhwhw..
Nina-Rafi duet maut, surganyaaaa..
Akhirnya sang mentari pun bersinar. Tandanya sudah pagi. Masih dengan kepala agak lieur2 gara2 ketindihan tas berkali-kali hahahahha.. Saya bangun dan tidak berapa lama kemudian sang kenek bus ribut2. Bus pun berhenti. Tinna, Nina, saya, Rafi – bingung. Udah sampe ya di terminal Denpasar. Lalu, dari kejauhan si Bapak, Ibu dan Devo tampak gelisah. Turunlah kami di Terminal Mengwi, bukan Terminal Ubung Denpasar yang dijanjikan di awal. Kata keneknya, dy tidak bisa mengantarkan sampai Terminal Ubung Denpasar, karena kalo diantar nanti angkot di terminal ini tidak laku. Oh God! Jadi2, terminal ini lokasi nya dimana? Masih di daerah Sangeh dekat Ubud sodara-sodara. Masih 1 jam dari Denpasar. Tak punya energi untuk ngomel2, akhirnya kami turun deh dari bus. Devo rewel lagi, karena tadi di bus ga bisa tidur dan capek.
Mau tidak mau kami mengeluarkan biaya transport lagi dari sini.
Pilihannya tiga, mau naik angkot atau naik mobil sewaan atau naik taksi. Di
terminal ini berjejer deh, tinggal pilih aja. Karena kami konsepnya
backpacking, Bapak bilang “kalau mau petualangan, harus petualangan sampai tempat
tujuan, jangan setengah-setengah” “Kalo mau enak, udah dari tadi kita ambil
enak, pas di Gilimanuk kita sewa mobil aja”. Alhasil kami pun memutuskan ke
Kuta menggunakan angkot. Tapi di tengah nego harga dengan supir angkot (yang
preman abisss gayanya) ada masalah, karena si supir angkot mempermainkan harga
angkot. Pertama bilang harganya untuk carter se-angkot ke Kuta 150.000 tapi
pas kami pergi untuk tanya ke rental mobil dan taksi, lalu balik lagi. Tiba2
harganya jadi 250.000 (aje gile ni angkot, ngerampok..). Malas lha kami
jadinya, lalu untungnya ada supir angkot yang baik hati, lalu kami pun naik
angkot itu dengan harga 150.000. Supir X yang preman tau dan kayak ngelabrak
kami. Supir X marah2, Bapak yang ga terima, bales marah2 lagi. Saya dan yang
lain bengong.. Eh bused ini ada apa yaaa..
Pertengkaran makin mengerikan. Di otak sudah mikir yang tidak-tidak.
Takut si Bapak dihajar sm si supir preman, takut ni angkot dirusak, takut juga
si supir yang baik hati malah dikucilkan dari dunia perangkotan, takut kita
pada masuk penjara di Bali. Kan ga lucu, niat hati mau liburan tapi urusan sama
polisi, di daerah orang pula. Lalu, sinar terang pun seperti datang ketika si
Bapak bilang:
“Bapak jangan marah-marah donk, saya tu kenal si Arya, Bapak kenal si Arya??”
Dalam hati saya udah mikir, wow, mungkin Bapak kenal kapolda Bali kali
yaaa yang namanya Arya.
“Saya bisa lapor ke Arya kalo kayak gini caranya” ngancem plus
mencet-mencet tuts handphone, kayak mau telepon Arya tersebut. Saya masih
bengong aja, sambil ancer-ancer pasang kuda-kuda buat kabur pait-paitnya ada
apa2. Setelah si Bapak ngomong kayak gitu, si supir preman minta damai dan kami
capcus naik angkot ke Kuta. Di jalan si Bapak lalu buka pembicaraan “Arya itu
teman saya, sudah lama kenalnya, dia itu ketua pelawak di Bali”. Ehem, okay,
ternyata Pak Arya yang disebut-sebut namanya itu bukan kapolda, agen Densus 88, ato mafia kelas kakap, tapi dia adalah ketua perkumpulan pelawak. Fine.
… to be continued
Comments