Countdown to the Next Circumstance
Hari Sabtu, malam hari, agak mendung, masih terasa juga bau hujan tadi
sore. Suasananya gloomy.. gloomy.. gimana gitu.. alias galau, kata remaja jaman
sekarang. Namun, galau yang saya alami ini bukan galau karena belum punya
pacar, atau galau malam minggu sendirian karena pacar lagi ujian tengah
semester (*lho.. curhat), atau galau ga punya uang, atau galau ga ada temen
yang ngajakin hedon. Kegalauan yang saya alami ini kurang bisa teridentifikasikan.
Tadinya saya kira ini adalah galau akademik. Tapi kayaknya bukan itu juga.
Sebenarnya dari tadi siang saya menerawang kisah kehidupan masa lampau
saya, mulai dari TK, SD, SMP, SMA, sampa kuliah ini. Mungkin, karena hal ini
trus saya malah jadi merenung, ditambah suasana hujan deras, jadilah penyakit
galau itu. Makanya sekarang, saya malah jadi ingin cerita di blog mengenai
perenungan (lebih cocok perenungan, daripada kegalauan) saya ini. Semoga ga sampe
200 episode yaaa.. Ngalahin sinetron Tersanjung. Hehehehehehe..
Tidak terasa, saya sudah berada di penghujung tugas akademik saya.
U-The alias skripsi yang sedang saya susun ini sedikit demi sedikit menampakkan
wujudnya. Saya bersyukur, karena seiring dengan berjalannya waktu dan proses,
U-The ini akan berbentuk utuh. Tau-tau nanti saya ujian pendadaran (sidang) –
yudisium – lulus deh. Target saya, Imlek tahun depan, saya sudah bisa pamer ke
keluarga besar (pas sedang kumpul-kumpul gitu yaaaa..) “saya udah lulus lho!”.
Inginnya sih begitu. Tapi, di sisi lain sebenernya saya berat untuk
meninggalkan status ‘mahasiswa’ ini, ditambah lagi jika saya lulus nanti itu
sama dengan berarti goodbye Yogyakarta, goodbye Sanata Dharma (kampus saya.red)
dan goodbye orang-orang yang saya sayangi di sini. Saya akui, saya tidak suka
dengan perpisahan.
Saya jadi ingat waktu pertama kali menginjakan kaki di Paingan (lokasi
dimana kampus saya berada), terasa sangat asing. Apalagi saya harus culture shock,
dari TK-SMA terbiasa dengan sekolah swasta yang homogen (secara etnis), lalu di
sini jadi heterogen dan saya nasib jadi minoritas. Rasanya ke-Indonesia-an saya
mulai tertempa dari sini. Pelajaran PPKN jaman SD soal toleransi itu memang
hanya mudah dilafalkan tapi sulit dipraktekan. Tidak terasa setelah bertahun-tahun
berada di sini, saya dapat banyak pelajaran praktik mengenai toleransi, kebhinekaan,
pertemanan, dan menghargai orang lain. Teman saya warna-warni, kami bisa dengan
vokal saling menceritakan agama dan suku kami tanpa merasa ‘ga enak’. Kami
mengakui kelemahan dan kelebihan kami, kami juga tidak tersinggung ketika ada
yang mengidentifikasikan kami dengan suku atau agama tertentu. Begitu pula
dengan status sosial ekonomi, si X yang Bapaknya petani, bisa koq makan bareng di
kantin dengan si Y yang orangtuanya dosen, si A yang bawa city-car ke kampus
dan si R yang yatim-piatu. No border line.
Di sini juga, saya mengawali menempatkan batu-batu pijakan saya untuk
masa depan. Kalau ketika jaman SMA, saya masih haha-hihi di sekolah. Di tahap
kuliah ini, haha-hihi berubah jadi bulir keringat dan air mata. Semuanya butuh
usaha dan kerja keras, dan itu munculnya dari diri sendiri. Ketika saya
mendapat IPS 2,4 di awal perkuliahan, saya tidak bisa menyalahkan siapa-siapa
kecuali diri saya sendiri, dan saya juga ga bisa minta tolong ke siapa-siapa
selain ke diri sendiri. Waktu itu saya hanya membayangkan betapa kecewanya orangtua
saya melihat kartu hasil studi saya, kebakaran. Mungkin mereka malu punya anak
yang IPS nya begitu rendahnya dalam sejarah keluarga. Namun, hal ini akhirnya
bisa berbalik. Pada awalnya, saya salah taruh batu pijakan, lalu saya jatuh, kalau
ketika itu saya ga jatuh, saya ga bakal tau kalau batunya itu ternyata salah.
Karena jatuh, jadi saya benerin batunya lalu saya jadi ‘ngeh’ bagaimana
menyusun batu pijakan yang benar. Pembelajaran tentang kerja keras, menggapai
cita-cita, punya impian, mengejar passion. It’s priceless.
Kalau ingat-ingat jaman awal-awal, pada bagian yang lucu, saya jadi
mesem-mesem sendiri. Pada bagian yang penuh perjuangan ada perasaan bangga.
Pada bagian “…episode selanjutnya…” ini dia penyebab kegalauan saya. Apalagi
kalau tau kalau ending-nya perpisahan seperti yang telah saya ungkapkan di atas.
Sebenarnya, saya boleh koq sedih karena perpisahan ini. Perpisahan mau tidak
mau akan terjadi, dan paling cepat akan terjadi 5 bulan ke depan, tapi lalu
saya mikir, bukankah di tiap akhir dari sesuatu akan muncul pula awal dari yang
baru. Mudahnya, seperti kata Ibu Kita Kartini, habis gelap terbitlah terang.
Saya memang akan meninggalkan kampus saya tercinta, saya memang akan
meninggalkan kota Yogyakarta yang nyaman, saya memang akan meninggalkan
orang-orang yang saya sayangi di sini dan (ini mungkin yang terberat) saya akan
melepaskan gelar ‘mahasiswa’ saya. Namun…
Dibalik itu semua, saya mendapatkan awal yang baru, gelar yang baru
yaitu ‘sarjana’, teman-teman baru mungkin teman-teman se-kantor (jika saya
bekerja) atau teman-teman kuliah baru (kalau saya sekolah lagi), lingkungan
yang baru kalau ternyata saya pindah kota. Dan yang lama itu pun tidak akan
hilang, karena akan selalu tersimpan dengan rapi di dalam memori. *tarik nafas
dalam-dalam
So, sepertinya saya harus membuang jauh-jauh rasa galau ini lagi. Saya
sadar, setiap tahapan hidup memiliki kisahnya masing-masing, kalau saya memang harus
menutup tahapan yang ini, bolehlah saya menutupnya dengan penuh makna. Sama
seperti ketika saya memulainya.
*baca jurnal lagi yuk, Bab II belom beres lho Ji..
*oh, iya.. iya.. roger that.
puji wijaya, jangan galau lagi seperti abege labil
source picture: http://www.featurepics.com/online/Stepping-Stones-Across-Stream-Photo409326.aspx
source picture: http://www.featurepics.com/online/Stepping-Stones-Across-Stream-Photo409326.aspx
Comments