Termotivasi


Selamat pagi.
Selamat hari kemerdekaan!
Saat ini Indonesia berusia 67 tahun. Umur yang terbilang cukup matang sebagai sebuah negara. Memang sih tidak se-tua US yang sudah berusia 236 tahun, :) Pada hari ini saya di kos saja, tidak pulang ke rumah. Ketika orang lain sibuk dengan acara pulang kampung berhubung dapat libur 1 minggu full (17-an plus Lebaran), saya malahan leha-leha sejenak di kos, sambil menyiapkan diri bertemu dosen pembimbing UThe (Undergraduate Thesis a.k.a skripsi) minggu depan.

Kenapa tidak pulang ke rumah? Selain mengurusi UThe, jujur saja alasan saya ga pul-kam itu karena saya kapok pul-kam pas Lebaran. Tahun kemarin, Lebaran saya pulang ke rumah, mikirnya sih di rumah akan damai-tenteram-bahagia, makan banyak & bisa nonton TV. Tapi ternyata orangtua saya buka toko sampai malam, mau tidak mau saya bantu kan ya, namanya anak gitu lho, siapa sih yang tega liat orangtua nya kerja2 begitu. Tapi, ternyata karena itu saya jadi kecapean, belum lagi ditambah penderitaan macet total di perjalanan pulang Cirebon – Jogja. Berangkat jam 8 pagi, sampai tujuan jam 1 pagi hari sesudahnya. Penambah penderitaan lagi, di dalam mobil travel ada dua anak kecil yang berulah (nangis, mewek, rewel). Ga tahan banget saya, rasanya pengen diturunin di jalan saja. Kalo diingat2 lagi, ya saya gak mau terjadi kayak gitu lagi.

Sebagai salah satu kegiatan kala liburan, tadi pagi saya main ke tempat teman saya, Inggrit. Si Inggrit ini baru saja beberapa hari yang lalu pulang dari Kalimantan. 3 bulan yang lalu, dia berpamitan untuk mengikuti kegiatan pengabdian masyarakat di Muara Wahau, Kutai Timur, Kalimantan Timur. 3 bulan berlalu, dia pulang kembali ke tanah Jawa. Lalu, ceritanya tadi saya main ke tempatnya untuk mendengar dongeng seputar petualangan Inggrit di sana, lihat foto2nya juga. Inti yang saya tangkap dari ceritanya yaitu seru dan banyak pengorbanan rupanya. Heran juga pas tau ternyata anak2 di sana kecanduan tuak (semacam arak/minuman beralkohol), banyak pernikahan muda (14 tahun bo!). kepedulian dengan kesehatan masih nol, pendidikan tertinggal, dan segala persoalan sosial yang tidak ada habisnya. Kalau soal ekonomi, orang-orang daerah sana ternyata kaya raya lho, karena hasil dari perkebunan cukup besar. Waktu saya lihat foto rumah pondokkan Inggrit di sana, kaget juga mendapati TV plasma, 2 kulkas, dispenser bagus, terpampang di ruang tamu. Meskipun, listrik hanya ada jam 5 sore – 7 pagi, yang namanya barang elektronik ga kalah sama yang di kota. Hahahaha.. Kontradiksi yang mengherankan sebenarnya.

Inggrit mengajar di salah satu sekolah Katolik (SD-SMP) yang dibangun oleh Romo Jesuit dan kampus saya. Program pengabdian ini selalu ada setiap semester, sayangnya hanya boleh diikuti oleh mahasiswa FKIP. Hahahaha.. Kalau semua boleh ikut, mungkin saya juga pingin daftar. Menyenangkan mendengar cerita2 Inggrit di sana, pengalaman mandi di sungai, tinggal di rumah panggung, ikut prosesi pemakaman adat, main di ladang, naik mobil bak menyusuri hutan kelapa sawit, presentasi program di depan romo rektor dan bos besar perusahaan di sana, bergaul bersama ibu2 ahli pengobatan tradisional (mirip dukun gitu deh), berinteraksi dengan kepala suku Dayak, dan yang pasti mengajar serta membuka mata anak-anak di sana dengan pendidikan. Menurut saya, that’s real-life experience yang mungkin hanya bisa dilakukan selagi kita masih muda.

Pengalaman lain soal mengajar di pedalaman, dirasakan juga oleh satu teman saya namanya Mba Tuti, yang setahun yang lalu mengikuti program Indonesia Mengajar. Ketika dia dapat libur dan pulang ke Jogja, saya sempat bertemu dan mengobrol-ngobrol dengan dirinya. Tantangan dan pengalaman kurang lebih mirip2 dengan Inggrit. Hanya saja memang medan yang Mba Tuti jalani ini lebih parah sih, walaupun dapat bagian di Pulau Jawa, tapi ada lho ternyata daerah di pulau kita yang tercinta ini masih sangat pelosok dan memerlukan tenaga2 pendidik.

they're waiting for you

Dan hmmm.. Lalu, saya berpikir. Kalau saya ingin seperti Inggrit atau para Pengajar Muda (Mba Tuti dkk di Indonesia Mengajar) sepertinya banyak hal yang menjadi pengorbanan. Melihat pengalaman pulang kampung tidak enak saja saya kapok setengah mati, apalagi kalau saya tinggal beberapa bulan di daerah Papua yang kesana-kemari harus pake pesawat atau tinggal di pedalaman Sumatera yang kanan-kiri hutan. Well, mungkin saya harus lebih memantapkan hati untuk melakukan semua itu. Saya iri sekali sih dengan mereka yang bisa melakukan hal-hal yang menantang kemandirian dan ketangguhan tersebut. Selama ini yang saya kira diri saya itu tangguh tapi ternyata saya masih cengeng. Cuma gara2 kecapean dan macet total di jalan saja, saya ngomel2 lalu ga mau pulang. Hahahaha..

Yap, itu lah yang jadi refleksi saya di hari kemerdekaan ini. Ayo, Puji, kamu jangan manja deh. Segera mengerjakan skripsi, menyelesaikan kuliah, jangan cepat menyerah terhadap sesuatu. Katanya ingin mengajar di daerah pedalaman masa dengan hal-hal yang masih terkontrol saja menyerah. Hehehehehe.. AYO BERSEMANGAT!

Jika memang takut, apakah itu berarti kita tak kan pernah melakukannya?
| Butet Manurung (Sokola Rimba, page.95)


regards,
puji wijaya, jangan cengeng ah..


Comments