Pilihan, Prioritas, Komitmen dan Kesetiaan
Selamat hari Minggu teman2. Hari
ini saya cukup senang karena (akhirnya) memiliki hari Minggu yang benar-benar
hari ‘Minggu’. Hari Minggu dimana saya bisa mengerjakan pekerjaan rumah tangga
seperti cuci baju, cuci piring, beresin kamar (yang sudah bikin tidak betah
saking berantakannya), bersiin kamar mandi, beresin file computer &
flashdisk. Selain itu, saya juga bisa melakukan kegiatan self-fun seperti main
internet, baca buku/majalah, tidur siang, ke Gereja. Sebenarnya, pada hari ini
ada teman yang mengajak pergi tetapi berhubung pekerjaan rumah saya banyak,
saya jadi mengesampingkan acara ‘bersenang-senang’ dengan teman. Yaaaa.. Hidup
memang harus memilih, dalam hal ini tergantung mana yang jadi prioritas, dan
omong-omong mengenai prioritas, ini dia yang saya ingin ceritakan di hari ini.
Kemarin2, saya mengobrol dengan
teman saya, sebut saja namanya X. Si X ini bercerita mengenai temannya yang
bernama Y (saya juga kenal si Y itu). X cerita kalo di semester ini dy kecewa
dengan si Y, karena si Y orangnya tidak komitmen. Banyak kerja kelompok,
kegiatan dan proyek yang dikerjakan X bareng si Y, tapi si Y performanya
mengecewakan alias kerjanya tidak beres. Alasan mengapa si Y ini ga
bertanggungjawab ternyata karena si Y memiliki kegiatan lain yang Y lebih
sukai, jadi Y lebih belain kegiatannya yang ini daripada yang lain. X kesal
karena X berpikir kalo seseorang mengambil tanggung jawab ini-itu berarti dy
komitmen dengan hal yang sudah ia pilih, sekalipun dy akhirnya mengambil hal
lain yang dy inginkan, berarti ya dy harus bertanggungjawab atas keduanya,
bukan lantas meninggalkan yang lama demi yang baru. Masalah ini membuat X jadi
bad-mood dengan Y, padahal mereka berteman sudah 3 tahun, X sendiri ga mau
kalau hubungan pertemanan mereka jadi rusak gara-gara masalah ini. X ingin
menyadarkan Y kalau tindakannya itu tidak baik dan tidak diulangi di kemudian
hari.
Setelah saya mendengar cerita
itu, saya sempat mikir-mikir mengenai diri saya sendiri. Saya juga orang yang
suka mengambil banyak hal dalam satu waktu, padahal saya sendiri tau, kalau
saya bukan orang yang pandai ‘multi-tasking’. Tetapi selama saya menjalani itu,
saya berusaha agar semuanya keep in balance, berbuat yang terbaik untuk
semuanya, walaupun sulit memang karena pasti selalu saja ada satu yang akhirnya
jadi pusat perhatian. Dan mungkin inilah yang dinamakan prioritas. Kalo melihat
dari cerita X, mungkin Y di situ lebih memprioritaskan kegiatan yang baru dan
sebenarnya itu hak dy, terserah dy juga kan mau milih yang mana. Tetapi, yang
jadi masalah apakah lalu dengan memprioritaskan yang baru lalu yang lain jadi
ditinggalkan. Seharusnya kan tidak begitu. Karena membuat sesuatu prioritas
bukan berarti menganggap yang lain jadi tidak penting. Ini dia yang suka
disalahkaprahkan oleh banyak orang. Sekalinya mengambil ‘pilihan x’ eh yang
lain ditinggal..
Kasus-kasus seperti ini sering
sekali saya alami. Mulai dari yang sederhana seperti yang ceritakan di awal
posting, dimana saya harus memilih antara bersenang-senang atau beres-beres
(bukan berarti dengan memilih beres-beres lalu saya tidak care dengan teman-teman
saya) sampai ke hal yang lebih rumit ke masalah organisasi yang bisa berujung
ke pertanyaan ‘dimana komitmen mu?’.
Cerita lain mengenai prioritas, saya
alami di organisasi saya yang baru yaitu student staff di perpustakaan.
Terhitung Mei 2012, saya menjadi coordinator student staff di perpustakaan
kampus saya, sebenarnya jabatan ini tidaklah se-keren namanya. Saya mendapatkan
ini karena teman saya yang seharusnya menjadi coordinator menolak jabatan
tersebut, berhubung saya yang mendapatkan suara terbanyak kedua, jadilah saya naik
kursi. Gara-gara jabatan ini otomatis saya harus memperhatikan teman-teman
saya, sesama student staff. Lalu, saya menyadari bahwa tidak semua orang yang
ada di organisasi ini berkomitmen, dan perlu diketahui bahwa organisasi ini
memberikan kami insentif uang lho untuk hasil pekerjaan kami. Dulu saya
berpikir, kalo orang bekerja untuk sesuatu dan dapat bayaran (bisa dalam bentuk
fasilitas/uang) mungkin bisa jadi lebih bertanggungjawab, tapi kenyataannya GA
JUGA. Lalu ditelusur-telusuri, ternyata ya mereka ga komit di sini karena
mereka punya pekerjaan lain yang mereka prioritaskan dan lagi-lagi terjadi proses
‘meninggalkan yang satu demi yang lain’. Oh maaannn..
Yap. Saya menyadari bahwa membuat
semuanya terkendali itu memang tidak mudah. Tetapi, bisa koq dilakukan. Buktinya
saya bisa, teman saya si X juga bisa, lalu ada beberapa orang lain yang
akademik OK, social interaction baik, kerjaan beres. Saya kadang jadi
bertanya-tanya juga sebenarnya bagaimana saya melakukan ini semua, amaze dengan
diri sendiri di tengah banyak keterbatasan yang saya miliki. Hipotesis teman saya,
si X, sepertinya sih ya, yang jadi kata kunci ini adalah ‘kesetiaan’. Setia
mengerjakan suatu hal sampai selesai. Setia tidak meninggalkan satu demi yang
lain. Setia untuk berproses (menyakitkan/menyenangkan).
Yaaa.. Itu baru hipotesis. Masih
perlu dibuktikan dan dapat terbantahkan. But, If He’s right, saya mulai berpikir,
bagaimana cara untuk memastikan bahwa seseorang itu setia. Rasanya indah, kalau
bisa berinteraksi dengan orang yang setia, dimana saya tidak takut jika tidak diprioritaskan,
because they will be back and still consider me as a essential one.
Selamat hari Minggu!
best regards
puji wijaya, fyi, I have this ‘faithfullness’
in my middle name.
Comments
Menjaga kepercayaan orang lain lebih penting daripada membangunnya.,.
di tunggu kunjungan balik.na gan.,.